Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Panglima TNI: Alangkah Bodohnya Anggap Terorisme Kriminal Biasa

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Minggu, 28 Agustus 2016, 15:44 WIB
rmol news logo Bangsa Indonesia harus waspada terhadap paham terorisme karena teroris adalah sebagian dari Proxy War yang ada di Indonesia.

Demikian dikatakan Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo saat memberikan kuliah umum dihadapan  490 Mahasiswa Pascasarjana Universitas Pertahanan, PMPP IPSC, Sentul, Bogor, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.

"Banyak orang yang mengatakan bahwa terorisme yang terjadi di Indonesia bahkan di dunia adalah karena faktor ketidakadilan, maka hal tersebut adalah bohong karena masalah terorisme sebenarnya berlatar belakang energi, ISIS sebagai contoh nyatanya," ujar Jenderal TNI.

Lebih lanjut Gatot mengatakan, ISIS saat ini adalah Islamic State. Mereka, para teroris itu ingin membuat negara Islam, namun perekrutanya dari seluruh negara.

"Jadi ISIS sistem perekrutanya itu mencari hal-hal yang sensitif, di mana kesenjangan sosialnya dan tingkat ketidakadilan sangat tinggi serta sering terjadi pelecehan agama di negara tersebut, seperti Indonesia dan Perancis serta beberapa negara lainnya," imbuhnya.

Panglima TNI jgua menyampaikan, saat ini banyak  anak-anak Indonesia yang masih kecil berada di Suriah. Mereka diberikan latihan menembak dan militer lainnya untuk dididik menjadi pasukan ISIS.

"Anak-anak tersebut dicuci otak untuk menjadi teroris bahkan mereka membakar rapor sekolahnya dan apabila nantinya mereka terdesak di Suriah, maka sesuai doktrin para teroris tersebut akan kembali ke negara asalnya dan mengadakan perjuangan di wilayahnya masing-masing," papar Gatot.  

 Merujuk hasil survei yang dilakukan oleh Wahid Foundation pada tahun 2016 menunjukkan bahwa 7,7 persen muslim Indonesia bersedia berpartisipasi dengan teroris, serta 0,4 persen  pernah berpartisipasi dengan teroris. Sedangkan Setara Institute menyebutkan bahwa 35,7 persen siswa SMA Negeri Jakarta dan Bandung intoleran pasif, intolerar aktif (2,4 persen)  dan 0,3 persen berpotensi menjadi teroris.

Hasil survei yang sama juga disampaikan oleh Universitas Islam Negeri Jakarta pada tahun 2011 bahwa, 26,7 persen mahasiswa  Islam setuju jihad dengan kekerasan, dan  68,4 persen tidak setuju. Sedangkan CSRC UIN Jakarta pada tahun 2008-2009 mengeluarkan hasil survei di mana 45 persen Takmir Masjid di Jakarta mewajibkan berdirinya negara Islam, 26 persen jihad melawan kaum non muslim, dan 32 persen wajib perjuangkan kilafah. Sementara 14 persen wajib perangi pemerintah yang tidak melakukan syari'ah.

"Dapat dibayangkan betapa perekrutan teroris sangat mudah dengan menggunakan media sosial dan teroris Indonesia memiliki dana yang cukup besar," terangnya.

Gatot mengemukakan, dana teroris yang masuk ke Indonesia paling besar dari Australia. "Bukan negara Australia ya tetapi dari wilayah Australia, Malaysia, Brunei dan Filipina, di mana teroris yang telah dilatih  disiapkan untuk masuk ke Indonesia," lanjut Panglima TNI.

Sumber dana teroris yang masuk ke Indonesia itu melalui yayasan-yayasan sangat besar, namun aparat tidak bisa berbuat apa-apa karena UU mengatakan bahwa terorisme adalah tindakan kriminal biasa.

"Maka dari itu saya katakan alangkah bodohnya bangsa ini, kalau masih mendefinisikan teroris adalah kejahatan kriminal, kalau kejahatan kriminal berarti tindakannya berdasarkan hukum pidana, padahal itu sudah pembunuhan secara massal, membuat ketakutan berlebihan, merusak sendi-sendi kehidupan, bahkan merusak kedaulatan negara, itu adalah kejahatan negara, kita harus berani menyikapi hal itu," tegas Gatot.[wid]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA