Sutarman mengatakan itu untuk menanggapi aksi intoleransi yang terjadi di kediaman pemuka agama Niko Lomboan di Sleman, Yogyakarta. Menurut dia, rumah pribadi tak boleh dialihfungsikan sebagai tempat ibadah, seperti shalat Jumat atau kebaktian rutin.
Tetapi lain lagi menurut Peraturan Bersama Menag dan Mendagri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah. Ibadah, menurut aturan tersebut, terbagi menjadi dua, yaitu ibadah permanen dan ibadah keluarga. Lalu apa yang dimaksud dengan ibadah rutin oleh Kapolri?
"Apakah yang dia maksud adalah kategori 'ibadah permanen' tersebut? Lalu, jika umat Islam melakukan ibadah rutin, misalnya shalat lima waktu di rumah mereka masing-masing, apakah itu termasuk ibadah rutin atau ibadah keluarga? Bagaimana pula dengan ibadah rosario umat Katolik di Sleman yang diserang oleh segerombolan orang?" ungkap ilmuwan politik, Muhammad AS Hikam, dalam opini yang ditulisnya di akun facebook pribadi, beberapa saat lalu.
Penjelasan Kapolri itu, tegas Hikam, malah tidak jelas dan menimbulkan kontroversi. Banyak tokoh mengatakan Kapolri tidak mengerti peraturan karena melarang rumah dijadikan sebagai tempat ibadah.
"Saya juga melihat kejanggalan penjelasan. Sebagai pejabat negara yang memimpin Polri, Sutarman seharusnya berpegang kepada aturan formal, bukan penafsiran yang mungkin saja hanya dinyatakan secara spontan dan reaktif," tegasnya.
Ketimbang menyalahkan para pelaku ibadah, seharusnya Kapolri segera memerintahkan melakukan pengejaran, penangkapan, penyidikan, dan proses hukum yang cepat.
Mantan menteri kabinet era Presiden Gus Dur itu meminta Sutarman mengikuti sikap Gubernur DIY, Sultan Hamengku Buwono X, yang mengatakan sekarang bukan saatnya dialog dengan pelaku kekerasan, dan kalau ada kekerasan harus diproses hukum.
"Kalau Kapolri malah
mbulet dan membuat
statement yang bikin salah paham, saya ragu ada penyelesaian yang tuntas, cepat dan menyeluruh terhadap persoalan kekerasan berkedok agama,".
"Yang akan terjadi adalah perdebatan berlama-lama, bertele-tele, dan
mbulet antara pihak Polri, LSM, ormas, Pemda, dan publik yang pro-kontra. Para pelaku kekerasan malah tertawa terpingkal-pingkal dan melanjutkan kegiatannya," tulis Hikam lagi.
[ald]
BERITA TERKAIT: