Adanya kesenjangan informasi antar-instansi, terutama terkait penetapan kategori wilayah terisolasi dan pelaporan bantuan yang berpotensi memperlambat respons dan menimbulkan perbedaan persepsi di lapangan.
Hal tersebut disampaikan Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika dalam Konferensi Pers usai melakukan pemantauan langsung pelayanan publik pascabencana banjir bandang di Provinsi Sumatera Barat, Jumat, 12 Desember 2025.
Ombudsman RI melakukan pemantauan di tiga lokasi terdampak yakni Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar dan Kota Padang.
“Melalui pemantauan ini, kami berharap dapat turut memperkuat langkah pemerintah dalam meningkatkan kualitas layanan kebencanaan. Yang terpenting setiap warga negara yang terdampak dapat merasakan bahwa negara hadir, peduli dan bergerak cepat di saat mereka sedang menghadapi masa sulit,” ucap Yeka.
Tidak hanya kesenjangan informasi, Yeka menilai bahwa komunikasi pemerintah kepada masyarakat masih belum konsisten. Warga belum memperoleh informasi yang memadai mengenai bantuan, jadwal pembukaan akses, dan perkembangan pemulihan sehingga menimbulkan ketidakpastian.
“Pola temuan menunjukkan perlunya penguatan contingency planning dan skenario penanganan darurat lintas sektor mengingat beberapa wilayah terdampak tidak memiliki rencana cadangan operasional ketika akses utama terputus,” imbuh Yeka.
Di Jorong Lambe Kabupaten Agam, Ombudsman RI menemukan adanya perbedaan informasi di internal pemerintah daerah di mana Dinas Pekerja Umum menyebut wilayah ini “terisolasi terbatas”, sementara dokumen Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mengategorikan sebagai “terisolasi penuh”.
Kondisi lapangan menunjukan bahwa kategori kedua lebih akurat karena akses kendaraan terputus dan hanya bisa diakses melalui jalan kaki sejauh hampir 10 km pulang pergi atau sekitar lima jam. Hal tersebut tidak selaras dengan Pasal 21 ayat (1) huruf a dan Pasal 22 ayat (1) PP 21/2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, yang mewajibkan pengkajian cepat dan tepat untuk menentukan kebutuhan darurat dan tindakan yang diperlukan.
Di Kabupaten Tanah Datar, kerusakan jalur nasional di Lembah Anai memutus konektivitas utama Padang-Bukittinggi dan menimbulkan dampak sistemik pada distribusi logistik. Terputusnya akses ini menghambat distribusi LPG 3 kg, pupuk bersubsidi dan bahan kebutuhan pokok harus dialihkan melalui jalur alternatif dengan waktu tiga hingga empat kali lebih lama.
Kerusakan jalan utama seperti ini kembali masuk pada kerangka pemulihan prasarana vital dalam PP 21/2008 Pasal 21 ayat (1) huruf f, sementara kemudahan pengerahan alat berat oleh BPBD/BNPB dijamin Pasal 24 huruf b PP 21/2008.
Sementara itu, di Kota Padang, dua irigasi utama juga mengalami kerusakan akibat perubahan arus sungai yang menghantam bendung, saluran primer serta jembatan besi di Lambung Bukit. Dari total 4.358 hektare lahan sawah yang bergantung pada dua irigasi ini, sekitar 3.156 hektare terancam gagal tanam karena suplai air terputus.
Selain itu, 176 hektare sawah di Kuranji dan Batu Busuk tertimbun material sehingga tidak dapat ditanami. Kondisi ini adalah kerusakan prasarana vital yang semestinya masuk prioritas pemulihan darurat sesuai PP 21/2008 Pasal 21 ayat (1) huruf f.
“Penanganan bencana harus dijalankan dengan prinsip-prinsip good governance yakni transparansi data, akuntabilitas keputusan, efektivitas tindakan, koordinasi lintas sektor yang solid, dan partisipasi aktif masyarakat nagari. Prinsip-prinsip inilah yang menjadi fondasi agar respons pemerintah tidak hanya cepat, tetapi juga tepat sasaran, dapat dipertanggungjawabkan, dan membangun kembali kepercayaan publik pada kehadiran negara di saat krisis,” tegas Yeka.
Ombudsman RI memberikan sejumlah saran perbaikan kepada pemerintah, antara lain penetapan satu data kebencanaan yang konsisten dan terverifikasi, percepatan pembukaan akses darat pada titik-titik kritis, penataan ulang sistem distribusi logistik agar tidak bergantung pada jalur udara, serta penguatan koordinasi dan alur informasi antar-instansi.
“Informasi terkait pembukaan akses, jadwal pemulihan, status jaringan listrik atau telekomunikasi, serta distribusi bantuan harus disampaikan secara konsisten dan terjadwal agar masyarakat memperoleh kepastian,” jelas Yeka.
Ombudsman RI juga menyoroti pentingnya percepatan pemulihan layanan dasar dalam rentang waktu 7-14 hari, termasuk penyediaan listrik darurat (genset), telekomunikasi (BTS mobile), air bersih, dan sarana pendidikan darurat, khususnya di wilayah terisolasi.
“Seluruh saran ini dirumuskan dengan mempertimbangkan kapasitas pemerintah daerah, urgensi kebutuhan masyarakat, dan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Ombudsman RI menyampaikannya dalam semangat kolaboratif untuk memperkuat kehadiran negara dan memastikan bahwa pemulihan Sumatera Barat dapat berlangsung lebih cepat, lebih terukur, dan lebih dirasakan oleh seluruh warga terdampak,” tutup Yeka.
BERITA TERKAIT: