“Pemerintah saat ini dalam menangani banjir masih mengandalkan respons darurat. Sama seperti pemadam kebakaran, penanganan baru dilakukan ketika banjir sudah terjadi. Akibatnya, banjir terus berulang setiap akhir tahun, seolah pemerintah tidak memiliki konsep penanganan banjir yang komprehensif,” kata Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Afifuddin Ical, kepada
RMOLAceh di Banda Aceh, Selasa, 15 Oktober 2024.
Afif menilai penanganan banjir oleh pemerintah lebih sering hanya berfokus pada seremonial, seperti simulasi penyelamatan bencana, tapi tanpa diikuti implementasi nyata di lapangan.
“Respons pemerintah terhadap banjir justru lebih banyak bersifat seremonial, seperti simulasi penyelamatan bencana. Meskipun kegiatan semacam itu penting, namun ironisnya seringkali hanya dilakukan sebatas seremoni belaka,” ungkapnya.
Afif menilai belum ada kebijakan terintegrasi dalam penanganan banjir. Seharusnya, minimal setiap sekolah memiliki konsep pencegahan dan penyelamatan saat bencana.
Tak hanya itu, Afif juga menyoroti deforestasi sebagai salah satu faktor utama yang memperparah kondisi banjir di Aceh. Oleh sebab itu, pemerintah harus serius menangani masalah ini, salah satunya dengan menekan angka deforestasi.
Selain itu, Afif juga mengusulkan agar pemerintah melakukan evaluasi terhadap seluruh perizinan, terutama terkait dengan Hak Guna Usaha (HGU) di kawasan hutan. Dia menilai keberadaan HGU di Aceh saat ini tidak lagi sesuai dengan daya tampung dan daya dukung lingkungan.
“Keberadaan HGU harus disesuaikan dengan daya tampung dan daya dukung lingkungan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak HGU yang tidak lagi memenuhi syarat tersebut,” papar Afif.
Terakhir, Afif menekankan pentingnya menghentikan perambahan hutan, terutama di kawasan hutan lindung, sebagai upaya konkret dalam mencegah banjir di masa mendatang.
“Setop perambahan hutan, terutama di kawasan hutan lindung,” pungkasnya.
BERITA TERKAIT: