Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ekspor Pasir Laut Ancam Masyarakat Lokal dan Lingkungan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/adityo-nugroho-1'>ADITYO NUGROHO</a>
LAPORAN: ADITYO NUGROHO
  • Senin, 05 Agustus 2024, 03:13 WIB
Ekspor Pasir Laut Ancam Masyarakat Lokal dan Lingkungan
Dok Foto/Net
rmol news logo PP Nomor 26/2023 Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut dinilai lebih cenderung memprioritaskan keuntungan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya laut. Terutama dalam konteks hasil sedimentasi laut.

Menurut Pengamat maritim dari Ikatan Keluarga Besar Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC), DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa,  justru PP ini menimbulkan konflik dengan Pasal 56 UU Nomor 32/2014 tentang Kelautan, yang secara eksplisit menekankan pentingnya perlindungan lingkungan laut sebagai prioritas utama. 

“Dari itu diskrepansi antara kedua regulasi ini mencerminkan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan, terutama di wilayah pesisir dan laut,” jelas Capt. Hakeng dalam keterangan yang diterima redaksi, Minggu malam (4/8). 

Lanjut dia, dalam perspektif hukum lingkungan, ketidaksesuaian antara PP Nomor 26/2023 dan UU Kelautan menyoroti persoalan mendasar dalam kerangka regulasi Indonesia. 

Dia pun sudah menulis Tesis yang berjudul “Tinjauan Yuridis terhadap Pengelolaan Sumber Daya Laut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 Berdasarkan Perlindungan Kelestarian Kelautan” dalam kapasitas sebagai Mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Hukum dari Universitas Bhayangkara Jakarta Raya. 

Tesis tersebut telah diuji, dipertahankan serta disidangkan, pada 20 Juli 2024, dengan hasil sangat baik di hadapan para penguji.  Di antaranya Prof. Dr. St. Laksanto Utomo, S.H., M.Hum., sebagai ketua Penguji, Assc. Prof. Dr. Erwin Owan Hermansyah , S.H., M.H., sebagai Penguji I, dan Dr. Dwi Atmoko, S.H., M.H., sebagai penguji II.

Dalam konteks yuridis normatif, Capt. Hakeng menggunakan pendekatan perundang-undangan dan kasus untuk menyoroti ketidakselarasan antara regulasi dan realitas lapangan. 

Teknik analisis tersebut sangat membantu dalam mengorganisir dan mengurutkan data, sehingga memberikan gambaran yang jelas tentang konflik regulasi, dampak lingkungan, dan diskriminasi yang terjadi. 

“Dimana ditemukan dalam penelitian ini bahwa diperlukan revisi dan penegakan hukum yang lebih tegas untuk memastikan bahwa pengelolaan sumber daya laut dapat dilakukan secara berkelanjutan, dengan mempertimbangkan kepentingan lingkungan dan masyarakat lokal,” ungkapnya.

Selanjutnya Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa menjelaskan bahwa revisi tersebut juga harus didasarkan pada kajian ilmiah dan masukan dari berbagai pihak.

“(Itu) agar mampu mengakomodir kepentingan yang beragam, serta meminimalisir potensi konflik di masa mendatang,” jelasnya.

“Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai prioritas pemerintah dalam melindungi lingkungan laut, terutama dalam menghadapi tekanan pembangunan ekonomi yang terus meningkat,” tegasnya. 

Sambung Capt. Hakeng, kasus-kasus ini menunjukkan lemahnya penegakan hukum, yang ditandai dengan ketidakadilan dalam pemberian sanksi terhadap pelaku ilegal. 

“Sering kali, pelaku dengan kekuatan ekonomi besar mampu lolos dari jeratan hukum atau menerima sanksi yang ringan, sementara kerusakan lingkungan yang diakibatkan sangat signifikan,” bebernya. 

Fenomena ini, lanjut dia, menunjukkan adanya ketimpangan dalam penegakan hukum yang lebih mengutamakan aspek ekonomi daripada perlindungan lingkungan. 

“Maka dampak lingkungan dari penambangan pasir laut tanpa izin sangat merusak kondisi ekosistem laut. Aktivitas ini mengubah pola sedimentasi laut dan merusak habitat pesisir yang penting bagi keberlanjutan ekosistem laut,” tegasnya lagi. 

Selain itu, pencemaran akibat aktivitas tersebut juga memperburuk kondisi lingkungan laut, mempercepat degradasi sumber daya hayati laut, dan meningkatkan risiko bencana alam seperti erosi dan abrasi pantai. Penegakan hukum yang tidak efektif terhadap pelaku penambangan ilegal ini semakin memperparah masalah lingkungan laut yang sudah ada. 

Kondisi ini diperburuk oleh adanya kebijakan diskriminatif yang tercermin dalam PP Nomor 26/2023, yang tidak mengakomodir kepentingan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya laut. 

“Peraturan ini lebih condong mengatur perizinan bagi pelaku usaha besar, sementara masyarakat lokal yang hidup dari laut sering kali tidak memiliki akses yang sama. Diskriminasi ini memperparah ketimpangan sosial dan ekonomi, di mana masyarakat lokal yang bergantung pada sumber daya laut untuk kehidupan sehari-hari sering kali tersisih dan tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan,” bebernya lagi.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif dalam pembuatan regulasi yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal serta pemangku kepentingan terkait. 

“Langkah ini penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan tidak hanya berpihak pada kepentingan ekonomi besar, tetapi juga memperhatikan kebutuhan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada kelestarian sumber daya laut,” tandasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA