Padahal harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah untuk MinyaKita Rp14 ribu per liter.
"Kenapa harga MinyaKita bisa lebih tinggi dari yang sudah ditetapkan pemerintah?" tanya Imas Sari (45), seorang ibu rumah tangga dari Kecamatan Ciamis.
"Harga yang lebih tinggi ini jelas memberatkan kami yang sudah terbiasa mengandalkan minyak goreng subsidi," tegasnya, seperti dikutip dari
Kantor Berita RMOLJabar, Rabu (17/7).
Menurutnya, meski kebutuhan minyak goreng untuk dapurnya tidak banyak, sekitar satu liter setiap lima hari, tapi kenaikan harga tetap berdampak signifikan pada pengeluaran keluarga.
"Keperluan dapur bukan hanya minyak goreng, banyak lagi lainnya. Jadi, dengan mahalnya minyak goreng, ya berpengaruh pada pengeluaran keluarga kami," keluhnya.
Di pasar, pedagang juga merasakan dampak kenaikan harga itu. Iis, pedagang minyak goreng di Pasar Manis Ciamis, menjelaskan, tingginya harga MinyaKita disebabkan kelangkaan dan keterlambatan pengiriman dari grosir.
"Kalau pesan minyaKita lima dus, harus pesan minyak non-subsidi lima dus, dan itu cukup memberatkan pedagang, terutama yang bermodal pas-pasan," ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Perdagangan Dinas Koperasi, UKM, dan Perdagangan Kabupaten Ciamis, Asep, mengatakan, kenaikan harga kemungkinan besar disebabkan informasi bahwa pemerintah berencana menaikkan HET menjadi Rp15.700 per liter.
"Para pedagang mendengar kabar itu dan mulai menaikkan harga jual MinyaKita, padahal itu baru wacana," jelas Asep, di kantornya.
Dia juga menambahkan, panjangnya rantai distribusi juga berkontribusi pada tingginya harga MinyaKita.
Menurutnya, masalah itu tidak hanya terjadi di Ciamis, tetapi juga di berbagai daerah lain.
"Karena MinyaKita produk pemerintah, maka kenaikan harga di pasaran di berbagai daerah sama," tambahnya.
BERITA TERKAIT: