Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Bantah Ada keterlibatan Pejabat Kemendikbudristek, PB PGRI hasil KLB: Murni Aspirasi!

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/bonfilio-mahendra-1'>BONFILIO MAHENDRA</a>
LAPORAN: BONFILIO MAHENDRA
  • Selasa, 07 November 2023, 02:29 WIB
Bantah Ada keterlibatan Pejabat Kemendikbudristek, PB PGRI hasil KLB: Murni Aspirasi<i>!</i>
Ketua Umum PB PGRI hasil KLB Surabaya, Teguh Sumarno/Ist
rmol news logo Pelaksanaan Kongres Luar Biasa (KLB) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, pada 3-4 November 2023 dituding oleh kubu Unifah Rosyidi selaku Ketum PB PGRI terkait adanya keterlibatan oknum pejabat eselon I Kemendikbudristek.

Menurut Ketua Umum PB PGRI hasil KLB Surabaya, Teguh Sumarno bahwa tuduhan tersebut sangat berlebihan dan tidak berdasar. Teguh menegaskan bahwa KLB murni sebagai aspirasi dari internal PGRI yang terdiri atas pengurus PGRI provinsi/kabupaten/kota dan 9 orang dari PB PGRI.

”Tidak ada pihak manapun yang ikut campur apalagi menjadi dalang dalam pelaksanaan KLB tersebut. Seluruh ide, proses dan hasil dari KLB murni atas aspirasi dari internal PGRI,” tegas Teguh dalam keterangan tertulisnya, Senin malam (6/11).

Dia menjelaskan, KLB pada dasarnya merupakan akumulasi dan kulminasi dari persoalan yang berkembang di internal PB PGRI dan juga di kalangan pengurus PGRI provinsi/kabupaten/kota.

Sambung Teguh, gagasan tentang KLB sebenarnya mencuat sebulan terakhir ketika Ketum PB PGRI Unifah Rosyidi tidak memberikan respons baik terhadap persoalan yang berkembang di internal PB dan provinsi/kabupaten/kota.

”Di internal PB PGRI sendiri, polarisasi bermula ketika terjadi friksi antara ketua umum dan sekretaris jenderal pasca Kongres Jakarta 2019. Sejak awal terlihat bahwa ketua umum mengambil posisi yang sangat dominan dalam kepemimpinan PB PGRI dan cenderung memarjinalkan eksistensi sekretaris jenderal,” tegasnya lagi.

Teguh juga menjelaskan kronologi perpecahan sekaligus menjadi sebab lahirnya KLB. Pertama, friksi yang disebutkan di atas kemudian terus berkembang menjadi polarisasi yang semakin menguat ketika muncul riak-riak ketidakpuasan atas kepemimpinan Unifah Rosyidi.

Oleh sebagian Pengurus Besar, kepemimpinannya dinilai jauh dari nilai-nilai demokrasi atau bahkan dikategorikan sangat otoriter.

”Organisasi yang seyogyanya menjadi tempat untuk bertumbuh bersama dalam suasana demokratis dan kekeluargaan berubah menjadi suatu ekosistem yang feodal, anti kritik dan menihilkan dialektika,” tutur dia.

Kedua, lanjut Teguh, bersamaan dengan itu, ternyata muncul ketidakpuasan beberapa daerah (provinsi dan kabupaten/kota) yang mempersoalkan tentang tata kelola keuangan. Mereka menelaah dari dokumen-dokumen kegiatan konkernas ditambah isu-isu lain yang kemudian berujung pada Mosi Tidak Percaya (MTP).

”Hal ini sekaligus menjelaskan bahwa gagasan tentang MTP ini murni aspirasi dari beberapa pengurus provinsi/kabupaten/kota. Tim 9 sama sekali tidak ada kaitan dengan inisasi dan proses MTP tersebut,” jelasnya.

Ketiga, MTP kemudian masuk dalam ranah tim 9 ketika Unifah Rosyidi tidak memberikan respons yang proporsional terhadap MTP.  Tim 9 ketika itu bersikap wait and see, menunggu respons Ketum sembari berharap dapat bersikap bijak dan sedikit merendah untuk mendengar aspirasi MTP demi untuk terwujudnya islah.

”Namun di luar dugaan, ternyata respons Ketum sangat jauh dari kata bijak. Ketum malah meresponsnya dengan sangat emosional dan merendahkan. Hal itu kemudian mendorong tim 9 untuk menyampaikan somasi kepada Ketum atas respons yang bersangkutan terhadap MTP,” bebernya.

Keempat, dalam rentang waktu sejak munculnya riak-riak ketidakpuasan dan sinyal-sinyal perpecahan hingga pada momentum MTP dan setelahnya. Ketum sama sekali tidak pernah menunjukkan upaya islah melalui mekanisme organisasi atau dengan pendekatan kekeluargaan untuk memperbaiki keadaan tersebut.

“Yang terjadi sebaliknya, Ketum semakin gencar melakukan pembunuhan karakter, dengan menebar narasi-narasi yang merendahkan tim 9 dan provinsi/kabupaten yang tercatat dalam dokumen MTP,” ungkap dia.

Kelima, KLB yang telah berlangsung dan melahirkan kepengurusan baru PB PGRI tidak bisa dipandang sebatas sebagai suatu mekanisme organisasi dengan parameter konstitusi AD/ART. Namun yang lebih penting daripada itu adalah substansi etik KLB sebagai respons dari sebuah kepemimpinan atau karakter kepemimpinan yang tidak fit and proper dengan lembaga yang dipimpinnnya.

”Unifah Rosyidi telah gagal menghasilkan resonansi etik-moral, intelektual dan spiritual dalam memimpin PGRI,” tandas Teguh. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA