Perumpamaan itu disampaikan Miduk Hutabarat dari Koalisi Peduli Lapangan Merdeka ketika berbicara dalam diskusi Medan Urban Forum yang digelar khusus membahas tentang nasib titik nol kota Medan itu, Rabu malam (22/9).
Di Lapangan Ikada pada 19 September 1945 Presiden Sukarno menyampaikan pidato singkat di hadapan rakyat dalam rangka memperingati satu bulan kemerdekaan Indonesia. Rapat raksasa berisi kebulatan tekad mempertahankan kemerdekaan itu diselenggarakan berbagai kelompok pemuda sebagai respon atas kehadiran kembali Belanda yang membonceng di belakang Sekutu ke wilayah Indonesia yang baru merdeka.
Sementara di Lapangan Merdeka Medan, pada 6 Oktober 1945 Gubernur Sumatera Muhammad Hasan membacakan kembali naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan mengibarkan bendera merah putih. Upacara ini disambut gegap gempita warga kota.
Ketika itu, Lapangan Merdeka di Medan dikenal sebagai Fukuraido, nama yang dipergunakan pemerintahan kolonial Jepang. Sebelumnya, di era kolonial Belanda, lapangan yang mulai dibangun pada 1872 sampai 1880 itu diberi nama de Esplanade.
Tiga hari setelah naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dibacakan Gubenur M. Hasan, Walikota Medan ketika itu, Luat Siregar, mengubah nama Furukaido menjadi Lapangan Merdeka.
Hingga kini Lapangan Merdeka di Medan masih menjadi salah satu pusat keramaian kota. Namun banyak pihak, termasuk Koalisi Peduli Lapangan Merdeka, yang menilai pengelolaan Lapangan Merdeka menyalahi begitu banyak hal mulai dari aturan mengenai tata kota sampai pelanggaran aspek lingkungan.
Pohon-pohon trembesi yang mengelilingi Lapangan Merdeka seperti sengaja dimatikan oleh pembangunan pusat jajanan Merdeka Walk di sisi barat.
"Pohon-pohon trembesi di sekitar Lapangan Merdeka itu seperti disuntik mati. Tanahnya dibeton, sehingga akarnya membusuk, lalu tumbang," ujar Meuthia Fadila Fachruddin, salah seorang peserta diskusi, mengumpamakan.
Diskusi yang dimoderatori intelektual Medan, Shohibul Anshor Siregar, itu juga menghadirkan Kepala Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Sumatera Utara Nurdin Lubis dan Eddy Syofian dari Dewan Harian Daerah 45 Sumatera Utara. Kedua organisasi ini juga memiliki
concern untuk mengonservasi dan mengembalikan fungsi Lapangan Merdeka. Pengamat tatakota Marco Kusumawijaya dari Jakarta dan tokoh Medan, Muhammad Joni, yang kini berdomisili di Jakarta juga hadir memberikan sumbang pikiran.
Secara umum kesemua pembicaraan dan peserta diskusi yang diminta ikut berbicara memiliki pandangan senada mengenai Lapangan Merdeka: prihatin.
“Tak dipungkiri kondisi Lapangan Merdeka berakar pada masalah struktural dan kultural yang tak mudah diurai. Ada degradasi serius dalam berbangsa dan bernegara yang sangat memerlukan sikap dan tanggung jawab dari semua pihak, lokal dan nasional,†ujar Shohibul Anshor ketika menutup diskusi yang berlangsung selama tiga jam itu.
Dia mengatakan, sebagaimana telah dilakukan oleh berbagai pihak yang concern selama ini, Medan Urban Forum pun senantiasa mendukung semua usul dan upaya untuk "memerdekakan" lapangan merdeka, apa pun taruhannya.
Shohibul mengingatkan agar fenomena tuna sejarah di negeri ini, terutama dalam kaitannya dengan keberadaan Lapangan Merdeka, tidak berlanjut.
“Lapangan adalah bidang datar yang lapang selapang-lapangnya tanpa gedung-gedung, bangunan dan semisalnya. Lapangan pun tak perlu pagar, kecuali pagar bathin bersama,†sambungnya.
Dia menambahkan, sejatinya Lapangan Merdeka adalah milik rakyat, dan bukan milik pemerintah.
“Sekiranya Indonesia bernasib sial hingga dijajah lagi oleh Portugis atau Belanda atau Jepang atau bahkan dijajah China, maka pemerintahan yang mereka bentukpun tidak berhak mengklaim kepemilikan lapangan merdeka,†ujar Shohibul mengandaikan.
Dia, seperti para pembicara dalam diskusi itu, mengingatkan agar Pemerintah Kota Medan segera menerbitkan keputusan berkekuatan hukum atas status Lapangan Merdeka sebagai cagar budaya.
“Kepada pengusaha yang sekarang menikmati kemakmuran di atas keanggunan Lapangan Merdeka itu, Medan Urban Forum memesankan agar kita sama-sama membangun jiwa dan raga bangsa,†demikian Shohibul Anshor Siregar.
BERITA TERKAIT: