Hal itu disampaikan Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Lenny N. Rosalin dalam diskusi 'Peran Pemerintah Pasca Keputusan Mahkamah Konstitusi Tentang Perkawinan Anak' di kantornya, Jakarta, Jumat (8/3).
"Sebagian besar karena sudah hamil duluan, ini edukasinya ke siapa kita harus cari. Kita coba kuatkan sekarang advokasi kita kepada keluarga. Artinya anak itu harus dikasih paham betul bahayanya," jelas Lenny.
Kementerian PPPA juga menekankan pemerintah daerah untuk mendukung langkah afirmatif perkawinan anak dengan memerhatikan dampaknya.
"Kalau bapak (bupati/wali kota) membiarkan perkawinan anak ya risikonya adalah drop out akan naik, wajib belajar bapak tidak akan terpenuhi. Kemudian angka kematian ibu melahirkan, kematian bayi tinggi dan stunting, gizi buruk," papar Lenny.
Jika dibiarkan tentunya kualitas sumber daya manusia akan buruk, sebab tidak akan mampu menciptakan sumber tenaga kerja yang baik.
Data Badan Pusat Statistik pada 2017 mencatat presentase perempuan yang umur perkawinan pertamanya di bawah 18 tahun paling tinggi di Provinsi Kalimantan Selatan sebesar 39,53 persen, dan terendah di DI Yogyakarta 11,07 persen, sementara angka secara nasional sebesar 25,71 persen.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: