Direktur Walhi Jawa Timur, Rere Christanto menuturkan, publik dikejutkan dengan pemÂberian perpanjangan kontrak kepada PT Lapindo Brantas. Isinya, melanjutkan aktivitas perÂtambangan di Blok Brantas oleh Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Padahal, kata Rere, tahun 2018 ini adalah tahun ke-12 dari tragedi industri migas yang dikeÂnal sebagai Lumpur Lapindo. Semburan lumpur Lapindo telah mengubur wilayah seluas lebih dari 800 hektare di tiga kecaÂmatan: Porong, Tanggulangin dan Jabon.
Lumpur tersebut menghanÂcurkan kehidupan masyarakat di lebih dari 15 desa, dan lebih dari 75 ribu jiwa terusir dari kampung halamannya.
"Tragedi Lumpur Lapindo rupanya tidak pernah menjadi pelajaran. Di tengah karut-marut pemulihan dampak semburan lumpur Lapindo yang tidak kunjung tuntas, perpanjangan kontrak kepada PT Lapindo Brantas menunjukkan demonÂstrasi kebebalan pengusaha dan penguasa dalam urusan pertamÂbangan migas dan keselamatan rakyat," ujarnya.
Kata Rere, laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta sejumlah terbitan ilmiah oleh ahli dari berbagai negara telah mengindikasikan, aktivitas pengeboran PT Lapindo Brantas bertanggung jawab terhadap munculnya semburan lumpur Lapindo.
Hasil pemeriksaan BPK saat itu menunjukkan, PT Lapindo Brantas menggunakan peralatan yang kurang memenuhi standar dan personel yang kurang berÂpengalaman. Sementara Neal Adams Services, yang pada 2006 melakukan penelitian atas data-data terkait semburan lumpur Lapindo, menemukan 16 faktor kesalahan yang menyebabkan terjadinya lumpur Lapindo.
"Di antaranya, kurang kompetennya site supervisor Lapindo, tak memahami baik prosedur perencanaan sumur bor, gagal menginterpretasikan data seismik, gagal mengetahui keberadaan rekahan dan tak mampu memilih site pengeboran yang aman dari pengaruh rekaÂhan," terang Rere.
Tak hanya itu, sambung Rere, laporan Neal Adams Services menyatakan, tindakan Lapindo Brantas dalam mengaÂtasi masalah teknis pada sumur BJP-1 mengarah pada tindakan kriminal yang membahayakan manusia dan lingkungannya.
"Hal ini harusnya menjadi koÂreksi kepada pemerintah bahwa ancaman berulangnya kejadian semburan lumpur Lapindo menÂjadi faktor penting yang harus dipertimbangkan," ujar Rere.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperpanÂjang kontrak Lapindo Brantas Inc. dalam operasi Wilayah Kerja (WK) Brantas. Kontrak yang baru itu akan dimulai pada 23 April 2020 hingga 20 tahun mendatang.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM, Djoko Siswanto menÂerangkan, aktivitas Lapindo ini berbeda dengan lokasi semburan lumpur tahun 2006. "Jadi aktiviÂtasnya tidak di daerah yang dulu kena lumpur Lapindo. Beda, kan lapangan migas luas, yang blow up kan Tanggulangin. Ini bukan di Tanggulangin," katanya.
Perpanjangan kontrak WK Brantas ini menggunakan konÂtrak bagi hasil produksi Gross Split. Dari bagi hasil ini, pemerintah akan mendapatkan split minÂyak sebesar 53 persen dan gas sebesar 48 persen. Adapun komitÂmen kerja yang diajukan Lapindo adalah 115,5 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp 1,5 triliun dalam lima tahun mendatang.
Dari komitmen tersebut, peÂmerintah mendapatkan bonus tanda tangan (signature bonus) sebesar 1 juta dolar atau setara Rp 13,4 miliar dari perpanjangan kontrak ini. ***
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: