Pertama, kurangnya jumlah pembangkit baik tenaga uap, air dan diesel sebagai sumber energi listrik. Pembangkit yang telah selesai dibangun tidak dapat menjadi sumber pasokan karena energi yang dihasilkannya tidak bisa didistribusikan ke gardu-gardu induk milik PT. PLN.
Ketiga, jikapun gardu induk sudah tersaluri dari pembangkit ternyata listrik masih juga tidak bisa tersalur ke konsumen karena kerap timbul persoalan pertanahan dalam kaitan pengadaan tanah untuk alokasi tapak tower sampai pada lahan Right of Way (RoW) atau jalur bebas di bawah saluran transmisi.
Selanjutnya, persoalan hukum yang timbul dari kontrak PT. PLN dengan pihak lain juga mempegaruhi terjadinya pemadaman. Walau jumlahnya tidak signifikan namun tetap saja memberikan efek negatif. Persoalan seperti ini yang mencuat ditemukan di Pulau Nias. Kelima, ketidaksiapan PT. PLN dan rekanannya merealisir rencana pembangunan yang sudah dirancang terkait pendisribusian energi dalam kurun 10 tahun terakhir.
Terakhir, struktur PT. PLN yang teramat berjenjang menjadikan BUMN ini tidak berbeda dengan struktur dalam suatu kementerian. Hal ini menambah parah persoalan. Saat PT. PLN menghadapi banyak persoalan pembangunan di berbagai wilayah khususnya Sumatera, di saat itu juga struktur malah ikut menambah rumit persoalan.
"Idealnya suatu struktur menjadi mesin pencari solusi yang dihadapi organisasinya, bukan malah sebaliknya. Namun hal itu tidak terjadi dalam tubuh BUMN yang bersifat melayani publik sekaligus mencari keuntungan tersebut," terang Direktur Eksekutif Masyarakat Peduli Listrik (MPL) Tomy Radja kepada redaksi, Selasa (31/5).
Namun, lanjutnya, nilai lebih PT. PLN mulai terlihat perlahan pasca Dahlan Iskan. Walau Dirut Sofyan Basir belum melakukan reorganisasi untuk merampingkan strukturnya namun pengalaman dia dalam bidang perbankan terlihat menambah nilai positif performa BUMN itu, sehingga mudah mendapatkan dana segar saat menanggulangi kendala pembangunan. Terlihat sejak awal 2016 perencanaan pembangunan yang mangkrak khususnya di wilayah Sumatera digenjot dengan baik.
Walau masih terlihat masalah pertanahan menjadi persoalan yang jamak seperti sebelumnya, namun penanganannya cenderung terlihat lebih moderat. Dirut Sofyan Basir mengandalkan pendekatan terstruktur untuk mendukung program PT. PLN. Itu bisa terlihat dari kemampuan mereka mempengaruhi lahirnya keputusan berupa Peraturan Presiden Nomor 4/2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Lahirnya keputusan ini di kalangan masyarakat kelistrikan menunjukkan bahwa pemerintah dalam hal ini presiden dan PT. PLN memiliki visi misi yang sama dalam penanggulangan dan upaya pengantisipasian pemadaman listrik di Indonesia.
Implementasi dari kejelian jajaran direksi BUMN itu di lapangan terlihat diformulasi. Percepatan atas proyek-proyek yang mangkrak sejak 2008 digeluti dengan cepat. Terlihat ketika wilayah Kabupaten Meulaboh berhasil mendapat penenambahan pasokan energi listrik. Lantas diikuti dengan persiapan akhir untuk sebagian wilayah di Provinsi Kepulauan Riau yang sudah mendekati berhasil memproduksi sumber energi listrik namun masih terkendala dalam pendistribusiannya.
Menurut Tomy, dua contoh itu menandakan bahwa jajaran anak buah Dirut Sofyan Basir yang bertanggung jawab pembangunan di Sumatera memiliki kemampuan di atas rata-rata pegawai PT. PLN saat ini. Mereka terlihat paham terkait perlunya pencapaian untuk menggapai pemenuhan tingkat kebutuhan listrik untuk menanggulangi persoalan pemadaman seperti selama ini.
Yang perlu diperhatikan secara lebih khusus lagi oleh jajaran PT. PLN dan pemerintah pusat adalah ternyata mayoritas kepala daerah tidak memiliki semangat yang sama dalam kaitan pembangunan dan pendistribusian energi listrik kepada masyarakat.
"Kami cermati seakan bahwa kepala daerah itu tidak menggubris persoalan pemadaman listrik sebagai bagian dari upaya untuk mendegradasi kesejahteraan rakyatnya," bebernya.
Bupati atau wali kota seakan menganggap bahwa upaya pemenuhan hak atas energi rakyatnya hanya menjadi kewajiban dari pemerintah pusat dan PT. PLN semata. Itu bisa dilihat bagaimana wilayah-wilayah di Kota Pekanbaru dan sebagian besar Sumatera Barat dan Sumatera Selatan yang malah melakukan tindakan kontraproduktif terhadap upaya penggapaian hak itu. Selain bersikap masabodo, kepala daerah juga terlihat tidak memberikan dukungan ril terhadap kegiatan pembangunan.
Malah aparat hukum seperti kejaksaan sebagai pengacara negara dan polisi yang terlihat sangat paham untuk membantu mewujudkan makna esensi Perpres tersebut. Sayang, tetap saja Bupati dan Walikota itu bersikap tidak peduli. Bahkan, selain mendiamkan perannya mendukung pekerjaan PT. PLN, malah jikalau tanah miliknya atau milik anggota keluarga terkena untuk menjadi tapak tower dan lintasan RoW justru mereka yang tidak bersedia dibeli.
"Sikap itu kami amati akan sangat merugikan masyarakat. Itu tidak disadari oleh mereka sebagai pemimpin kecil di daerah. Mungkin saja itu akibat dari ketidaktahuan betapa pentingnya energi listrik atau malah mereka seperti biasa saja menganggap kegiatan PT. PLN ibarat proyek yang pantas untuk bancakan. Padahal Presiden sendiri menempatkan persoalan listrik menjadi hal yang penting. Kami sangat miris melihat perilaku buruk yang tidak bermoral dari para kepala daerah itu," jelas Tomy.
Ditambahkannya, kinerja PT. PLN di Pulau Sumatera, khususnya yang sedang melakukan percepatan pembangunan sarana dan prasarana pendistribusian dalam kerangka program yang dinamakan pembangunan Tol Listrik Sumatera untuk Sumut Terang sebaiknya tidak hirau terhadap perilaku yang sesat dari pemda.
"Mereka fokus saja mengerjakan tugasnya, biar nanti rakyat dan presiden yang akan menilai semua," tutup Tomy.
[wah]
BERITA TERKAIT: