Menurutnya, sisa 39 persen atau kira-kira 33,3 juta anak belum memiliki akta kelahiran. Karena itu, diperlukan upaya penyisiran yang melibatkan semua elemen, termasuk pengurus lingkungan RT dan RW.
"Kami mendorong seluruh elemen masyarakat bersama-sama pengurus lingkungan RT/RW melakukan pendataan bagi anak-anak yang belum memiliki akta kelahiran," ucapnya kepada redaksi di Jakarta, Kamis (19/5).
Di Nusa Tenggara Timur (NTT) Kementerian Sosial melakukan pendataan terhadap anak-anak yang belum memiliki akta kelahiran dengan menggandeng para mahasiswa setempat.
"Kami menggandeng para mahasiswa di NTT untuk melakuan pendataan terhadap anak-anak yang belum memiliki akta kelahiran," jelas Khofifah.
Dia menambahkan, jika semua elemen bekerja sama dalam pendataan, maka target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebesar 85 persen pada 2019 bisa tercapai dan bahkan bisa terlampaui.
"Optimis target RPJMN 85 persen pada 2019, atau 1500 anak-anak dan dalam waktu enam bulan ke depan 500 anak bisa tercapai dengan mendapatkan akta kelahiran," katanya.
Dalam waktu enam bulan ke depan, masih cukup waktu bisa menyisir anak-anak yang belum memiliki akta kelahiran bisa tercapai. Tentu dengan menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah.
Khofifah memastikan bahwa meski hanya selembar kertas namun akta lahir tidak bisa dianggap sepele. Sebab ketika sang anak akan bersekolah, menjadi PNS, melamar kerja, menjadi dokter dan bahkan gubernur sekalipun tetap memerlukan akta kelahiran.
"Melamar kerja, menjadi dokter hingga gubernur membutuhkan selembar kertas akta kelahiran tersebut," tandasnya.
[wah]
BERITA TERKAIT: