Keseriusan yang ditunjukkan oleh pemerintah pusat menjadi tanda-tanda bahwa kemajuan pembangunan di Danau Toba dan sekitarnya bukan omong kosong.
Demikian dikatakan pencinta lingkungan yang juga penerima Kalpataru 2005 dari daerah Toba Samosir, Marandus Sirait, kepada
Medanbagus.com.Marandus mengatakan program pendirian Badan Otorita harus dipandang positif sebagai salah satu sumbangsih pemerintah pusat dalam mengangkat harkat Danau Toba di dunia pariwisata, yang sekaligus juga akan mengangkat kehidupan ekonomi masyarakat sekitarnya.
Tentu hal tersebut harus dibarengi dengan upaya dari masyarakat mempersiapkan diri agar tidak tersingkir dari kemajuan pembangunan yang akan diwujudkan.
"Seperti pepatah orang Batak yang mengatakan '
Ijuk di para-para hotang di parlabian, na bisuk nampuna hata na oto tu pargadisan' (Yang bodoh akan tersingkir dan orang yang bijak akan mendapat untung). Maka jika tidak ingin tersingkir ya belajar supaya menjadi orang bijak," katanya.
Marandus yang mendirikan Taman Wisata Alam (hutan) "Taman Eden 100" ini menjelaskan, munculnya kalangan yang akan "tersingkir" merupakan bentuk konsekuensi dari sebuah pembangunan. Karena itu, kemampuan untuk beradaptasi dengan membenahi diri menjadi hal yang wajib dilakukan.
"Peran pemerintah memang dibutuhkan untuk memfasilitasi. Namun inisiatifnya harus dari masyarakat itu sendiri," ungkapnya.
Marandus mencontohkan, salah satu upaya yang dilakukan bersama dengan beberapa orang rekannya yakni dengan membentuk sanggar budaya. Meski gaungnya belum terlihat, namun ia yakin hal ini akan bermanfaat saat Danau Toba menjadi Monaco of Asia terwujud. Selain untuk misi melestarikan budaya Batak Toba, ia yakin hal ini juga akan menjadi salah satu daya tarik wisata pendukung Danau Toba sebagai destinasi unggulan.
"Peran pemerintah tentu sangat kami butuhkan misalnya menyediakan pertunjukan dan sarananya. Karena jujur kami tidak punya biaya untuk membuat fasilitasnya," demikian Marandus.
Marandus merupakan pegiat lingkungan yang menerima penghargaan Kalpataru dari Presiden RI untuk kategori Perintis Lingkungan pada tahun 2005. Namun, Kalpataru tersebut dikembalikannya pada tahun 2013 lalu sebagai bentuk protes atas perusakan lingkungan yang terus terjadi di seputar Danau Toba.
[ald]
BERITA TERKAIT: