"Akibatnya, hak-hak pelaut yang di PHK dari kapal-kapal perikanan hingga sekarang belum dapat diselesaikan," kata Ketua Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) Cabang Ambon, Uten Bumulo di Jakarta, Rabu (6/1).
Uten datang ke Jakarta melaporkan kepada Pimpinan Pusat KPI. Menurut dia, lebih 1.000 pelaut yang bekerja di kapal-kapal ikan 30 GT ke atas dan kini hidup dalam kondisi miskin akibat di PHK karena operasional kapalnya terkendala kebijakan moratorium yang diterbitkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Mereka menuntut uang pesangon, gaji yang belum dibayar, dan hak-hak lainnya yang belum dibayarkan oleh perusahaan tempat mereka sebelumnya bekerja.
Didampingi Wakil Sekjen KPI Sonny Pattiselanno, Uten juga membantah pernyataan Dirjen Pengawasan Norma Ketenagakerjaan dan K3 (Keselamatan & Kesehatan Kerja) Mudji Handaya bahwa hak-hak ABK (anak buah kapal) dalam negeri telah diselesaikan. "Pernyataan Dirjen Pengawasan itu bohong. Pelaut belum menerima haknya, karena perundingan tripartit deadlock," tudingnya.
Menurut Uten, beberapa pelaut memang telah mengambil haknya karena alasan ekonomi. Namun, sebagian besar (95 persen) masih menunggu keputusan yang adil, sesuai ketentuan UU 13/2003 (Ketenagakerjaan).
Sementara itu, Disnaker Provinsi Maluku dinilai tidak pernah melakukan upaya paksa pada perusahaan untuk mematuhi ketentuan UU 13/2003 Bahkan terkesan melakukan pembiaran, sehingga tuntutan pelaut terkatung-katung. "Ini ada apa?" tanya Uten.
Hal ini berbanding terbalik dengan yang terjadi terhadap pelaut asing, misalnya dari Myanmar, Kamboja dan Vietnam. Hak-haknya cepat terselesaikan sehingga mereka segera dipulang ke negaranya. Pelaut asing itu, kata Uten, menerima sekitar Rp 100 - Rp 200 juta per orang, jauh lebih besar disbanding tuntutan pelaut lokal berkisar 30 - Rp 70 juta per orang, karena gajinya sesuai upah minimum di Maluku sebesar Rp 1,7 juta.
Untuk itu, dia mendesak Menteri Tenaga Kerja maupun Gubernur Maluku segera turun tangan mengatasi masalah tersebut. Termasuk segera mengganti Kadisnaker dan para mediatornya, karena tidak mampu menyelesaikan masalah dan cenderung lebih memihak pengusaha dan merugikan pekerja, dalam hal ini pelaut.
[rus]
BERITA TERKAIT: