Hal itu direalisasikan, misalnya dalam melakukan penutupan lokalisasi. Anas menyebut, lokalisasi tidak bisa ditutp begitu saja hanya dengan alasan melanggar moral.
"Kami di Banyuwangi menutup lokalisasi tidak dengan Perda Anti-maksiat seperti daerah-daerah lain. Di Banyuwangi tidak ada Perda Anti-maksiat, yang ada seperti Perda Tata Ruang, di mana bangunan rumah tidak boleh digunakan untuk usaha lokalisasi. Dasarnya itu, sehingga kita tidak bicara moral atau tidak bermoral," ujar Anas dalam rilis yang diterima redaksi, Rabu (11/2).
"Tentu saja ada pendekatan kesejahteraan berupa modal dan pelatihan bagi warga di lokalisasi agar bisa berdaya secara ekonomi, meski lokalisasi telah ditutup," sambungnya.
Anas menceritakan, Perda Anti-maksiat tidak pernah ada di Banyuwangi karena selalu memancing pro dan kontra terkait perdebatan moral. Misalnya soal penegakan aturan pelarangan karaoke baru yang tidak berkonsep karaoke keluarga.
"Pendekatannya bukan moral atau maksiat, tapi kami paparkan data intelejen bahwa selama ini peredaran narkoba dan perdagangan manusia banyak dilakukan di karaoke kawasan pesisir seperti Banyuwangi. Selain itu, kami meyakinkan bahwa pengembangan Banyuwangi ke depan adalah ekowisata berbasis alam dan budaya, sehingga tidak perlu banyak karaoke," kata Anas.
Ia menambahkan, kebijakan daerah harus tidak bias moral. Misalnya, tidak bisa daerah meminggirkan kesenian atau tradisi lokal karena dinilai secara subyektif oleh pemimpinnya sebagai kesenian atau tradisi yang bertentangan nilai agama yang diyakini kepala daerah.
Menurut Anas, Islam di Indonesia adalah Islam yang mempunyai ciri tersendiri karena berdampingan secara harmonis dengan kebudayaan dan kearifan lokal. Karena itulah di era kekinian, umat Islam perlu hidup selaras dengan teknologi dan sains. Teknologi informasi merupakan keniscayaan dan tak bisa ditolak. Ia mengimbau umat Islam untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan internet agar bisa maju.
[mel]
BERITA TERKAIT: