Wacana Contra Flow Busway Dinilai Aneh

Bakal Bikin Lalulintas Jakarta Makin Semrawut

Selasa, 15 Februari 2011, 05:27 WIB
Wacana Contra Flow Busway Dinilai Aneh
bus Transjakarta
RMOL. Wacana penggunaan sistem contra flow atau laju bus berlawanan arah untuk bus Transjakarta yang diusulkan Polda Metro Jaya dinilai sebagai ide aneh. 

Kritikan ini diungkapkan pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI) An­drinof Chaniago. Menurutnya, jika jalur bus­way diubah arahnya menjadi ber­lawanan, justru akan menjadi ribet dan menambah ke­semrawu­tan lalu lintas. Belum lagi kema­cetan yang bakal mun­cul, waktu pun terbuang lantaran harus me­ngatur dulu lalu lintas karena arah­nya berlawanan.

Karena itu, Andrinof tak se­pendapat jika kajian terhadap usulan ini diya­kini mam­pu me­minimalisir kece­laka­an dan pe­nerobosan yang kerap terjadi di jalur khusus busway.

“Jadi secara teknis wacana itu tidak masuk akal, karena akan menimbulkan masalah baru. Itu ide aneh,” kritik Andrinof kepada Rak­yat Merdeka, kemarin.

Seandainya wacana contra flow ini dilaksanakan, lanjut An­drinof, dirinya tidak bisa mem­bayangkan bagaimana secara teknis mengatur lalu lintas. Dari pengamatannya, sejauh ini belum ada busway dengan jalur berla­wa­nan arah seperti itu.

Sebenarnya, kata Andrinof, de­ngan kondisi dua arah dan dengan jalur yang berbeda, itu sudah cu­kup baik. Dia menekankan, yang logis sekarang adalah bagaimana mengoptimalkan armada yang ada. Artinya, perlu ada pe­nye­suaian armada terhadap be­be­rapa rute dan per jalur, dimana bi­sa mencukupi jumlah armada bis dari kapasitas jarak yang ter­sedia.

Dia mengungkapkan, wacana contra flow ini berisiko tinggi. Untuk itu pihak terkait diminta tidak membiasakan mengelu­ar­kan kebijakan yang coba-coba. Ka­rena itu dia berharap agar wa­cana tersebut sebaiknya tidak di­terapkan.

Menurutnya, jangan biasakan menggunakan pendekatan yang coba-coba, tetapi harus terenc­a­na, sistematis, dan profesional. Ke­bijakan yang mengedepankan trial and error dia nilai hanya bakal menimbulkan pemborosan. Bila gagal, tentunya kebijakan tersebut akan banyak menyedot biaya.

“Lebih baik di­tambah bisnya saja, karena pe­numpang sering menge­luhkan ke­­terlambatan dan kurang­nya ar­mada,” tegasnya.

Pengamat perkotaan Yayat Supriatna berpendapat, pem­bangunan angkutan massal bus Transjakarta mendekati gagal. Selama enam tahun, sistem bus­way hanya bisa membangun jalur dan menjalankan bus di atasnya. Namun, pengurangan kendaraan pribadi dan penciptaan angkutan massal terintegrasi tidak tercapai.

Yayat menilai, tingkat keber­hasilan busway hanya 20 persen. Buktinya, pengaturan bus pe­ngum­pan atau feeder sebagai sa­lah satu indikator penyediaan sis­tem angkutan terintegrasi tidak terlaksana. Kegagalan ini bisa dirasakan saat berada di jalanan Jakarta. Masih banyak angkutan umum melayani rute yang sama, seperti di ruas Harmoni-Kota.

“Upa­ya mengatasi penyero­botan ja­lur, seperti sistem contra flow, pe­masangan portal, sampai pe­nempatan polisi, petugas satuan polisi pamong praja, dan petugas dinas perhubungan di jalur bus, terbukti tidak berhasil,” ujar Yayat.

Adapun di setiap koridor bus Trans­jakarta, masalah berbeda menghadang. Selain kemacetan, setiap koridor memiliki karakte­ris­­tik berlainan yang membutuh­kan pemecahan sendiri. Koridor 1 Blok M-Kota berupa jalur lurus dan di jantung Jakarta yang relatif ter­tata. Namun di koridor 8 Lebak Bu­lus-Harmoni, selain sebagai ja­lur ter­panjang, ruas ini mele­wa­ti ba­nyak kendala, seperti simpul ke­macetan di Jelambar dan lebar jalan yang tidak merata. Aki­bat­nya, waktu tempuh bisa mencapai 2-3 jam. Padahal, targetnya satu jam.

Yayat mengingatkan agar pe­ne­rapan Standar Pelayanan Mi­nimum (SPM) mengarahkan pe­merintah kembali serius me­ngem­­bangkan sistem busway. Se­lama ini, dia melihat Pemprov DKI bersikeras mau membangun mass rapid transit (MRT) dengan sistem subway, tetapi tidak serius membangun busway.

“Padahal, busway adalah sis­tem angkutan massal transisi yang diharapkan mampu me­ngen­dalikan lalu lintas Jakarta sebelum tersedia MRT,” tegasnya.

Di sisi lain, pemerintah juga ta­kut menindak tegas pengendara mo­bil pribadi. Seharusnya, bus Transjakarta diiringi pengaturan angkutan feeder dan bekerja sama dengan PT KA untuk menyedia­kan angkutan dari kawasan ping­giran ke Jakarta. Kemudian, lang­sung diterapkan electronic road pricing, zona tarif parkir, dan per­luas three in one.

Pengamat kebijakan perkotaan Amir Hamzah menyatakan, sis­tem contra flow hanya bisa dila­kukan di Koridor I karena jalur­nya lurus. Itu pun ketika busway sam­pai di bundaran Hotel Indo­nesia dan bundaran Bank Indone­sia mengalami kendala.

Jika dilakukan di koridor lain­nya, kata Amir, itu sulit dilakukan mengingat banyaknya lampu me­rah, putaran (U-turn), perem­pa­tan, dan terowongan underpass. Ka­rena itu jika dipaksakan, me­nurutnya perlu sosialisasi dalam waktu lama agar masyarakat pa­ham dan meminimalisasi ada­nya kecelakaan yang menelan kor­ban. “Kemudian perlu disiapkan infrastruktur, marka jalan, separa­tor yang mendukung sistem la­wan arah itu,” tuturnya.

Sebelumnya, wacana contra flow atau melawan arus lalu lintas bagi busway kembali diwacana­kan oleh Kapolda Metro Jaya Ir­jen Sutarman. Munculnya wa­ca­na ini lantaran kecelakaan di jalur busway sudah sering terjadi. Sis­tem tersebut diyakini mampu me­minimalisir kecelakaan dan pene­robosan di jalur khusus busway.

Sepanjang 2010, telah terjadi 461 kecelakaan di jalur busway. Dari kecelakaan tersebut korban meninggal 14 orang, luka berat 22 orang, dan luka ringan 104 orang. Kecelakaan pun paling ba­nyak terjadi antara mobil pribadi yang menerobos masuk ke jalan dengan bus Transjakarta. Jumlah­nya mencapai 145 kasus.   [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA