Kritikan ini diungkapkan pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI) AnÂdrinof Chaniago. Menurutnya, jika jalur busÂway diubah arahnya menjadi berÂlawanan, justru akan menjadi ribet dan menambah keÂsemrawuÂtan lalu lintas. Belum lagi kemaÂcetan yang bakal munÂcul, waktu pun terbuang lantaran harus meÂngatur dulu lalu lintas karena arahÂnya berlawanan.
Karena itu, Andrinof tak seÂpendapat jika kajian terhadap usulan ini diyaÂkini mamÂpu meÂminimalisir keceÂlakaÂan dan peÂnerobosan yang kerap terjadi di jalur khusus busway.
“Jadi secara teknis wacana itu tidak masuk akal, karena akan menimbulkan masalah baru. Itu ide aneh,†kritik Andrinof kepada
RakÂyat Merdeka, kemarin.
Seandainya wacana
contra flow ini dilaksanakan, lanjut AnÂdrinof, dirinya tidak bisa memÂbayangkan bagaimana secara teknis mengatur lalu lintas. Dari pengamatannya, sejauh ini belum ada busway dengan jalur berlaÂwaÂnan arah seperti itu.
Sebenarnya, kata Andrinof, deÂngan kondisi dua arah dan dengan jalur yang berbeda, itu sudah cuÂkup baik. Dia menekankan, yang logis sekarang adalah bagaimana mengoptimalkan armada yang ada. Artinya, perlu ada peÂnyeÂsuaian armada terhadap beÂbeÂrapa rute dan per jalur, dimana biÂsa mencukupi jumlah armada bis dari kapasitas jarak yang terÂsedia.
Dia mengungkapkan, wacana
contra flow ini berisiko tinggi. Untuk itu pihak terkait diminta tidak membiasakan mengeluÂarÂkan kebijakan yang coba-coba. KaÂrena itu dia berharap agar waÂcana tersebut sebaiknya tidak diÂterapkan.
Menurutnya, jangan biasakan menggunakan pendekatan yang coba-coba, tetapi harus terencÂaÂna, sistematis, dan profesional. KeÂbijakan yang mengedepankan
trial and error dia nilai hanya bakal menimbulkan pemborosan. Bila gagal, tentunya kebijakan tersebut akan banyak menyedot biaya.
“Lebih baik diÂtambah bisnya saja, karena peÂnumpang sering mengeÂluhkan keÂÂterlambatan dan kurangÂnya arÂmada,†tegasnya.
Pengamat perkotaan Yayat Supriatna berpendapat, pemÂbangunan angkutan massal bus Transjakarta mendekati gagal. Selama enam tahun, sistem busÂway hanya bisa membangun jalur dan menjalankan bus di atasnya. Namun, pengurangan kendaraan pribadi dan penciptaan angkutan massal terintegrasi tidak tercapai.
Yayat menilai, tingkat keberÂhasilan busway hanya 20 persen. Buktinya, pengaturan bus peÂngumÂpan atau
feeder sebagai saÂlah satu indikator penyediaan sisÂtem angkutan terintegrasi tidak terlaksana. Kegagalan ini bisa dirasakan saat berada di jalanan Jakarta. Masih banyak angkutan umum melayani rute yang sama, seperti di ruas Harmoni-Kota.
“UpaÂya mengatasi penyeroÂbotan jaÂlur, seperti sistem
contra flow, peÂmasangan portal, sampai peÂnempatan polisi, petugas satuan polisi pamong praja, dan petugas dinas perhubungan di jalur bus, terbukti tidak berhasil,†ujar Yayat.
Adapun di setiap koridor bus TransÂjakarta, masalah berbeda menghadang. Selain kemacetan, setiap koridor memiliki karakteÂrisÂÂtik berlainan yang membutuhÂkan pemecahan sendiri. Koridor 1 Blok M-Kota berupa jalur lurus dan di jantung Jakarta yang relatif terÂtata. Namun di koridor 8 Lebak BuÂlus-Harmoni, selain sebagai jaÂlur terÂpanjang, ruas ini meleÂwaÂti baÂnyak kendala, seperti simpul keÂmacetan di Jelambar dan lebar jalan yang tidak merata. AkiÂbatÂnya, waktu tempuh bisa mencapai 2-3 jam. Padahal, targetnya satu jam.
Yayat mengingatkan agar peÂneÂrapan Standar Pelayanan MiÂnimum (SPM) mengarahkan peÂmerintah kembali serius meÂngemÂÂbangkan sistem busway. SeÂlama ini, dia melihat Pemprov DKI bersikeras mau membangun
mass rapid transit (MRT) dengan sistem subway, tetapi tidak serius membangun busway.
“Padahal, busway adalah sisÂtem angkutan massal transisi yang diharapkan mampu meÂngenÂdalikan lalu lintas Jakarta sebelum tersedia MRT,†tegasnya.
Di sisi lain, pemerintah juga taÂkut menindak tegas pengendara moÂbil pribadi. Seharusnya, bus Transjakarta diiringi pengaturan angkutan
feeder dan bekerja sama dengan PT KA untuk menyediaÂkan angkutan dari kawasan pingÂgiran ke Jakarta. Kemudian, langÂsung diterapkan
electronic road pricing, zona tarif parkir, dan perÂluas
three in one.Pengamat kebijakan perkotaan Amir Hamzah menyatakan, sisÂtem
contra flow hanya bisa dilaÂkukan di Koridor I karena jalurÂnya lurus. Itu pun ketika busway samÂpai di bundaran Hotel IndoÂnesia dan bundaran Bank IndoneÂsia mengalami kendala.
Jika dilakukan di koridor lainÂnya, kata Amir, itu sulit dilakukan mengingat banyaknya lampu meÂrah, putaran (U-
turn), peremÂpaÂtan, dan terowongan
underpass. KaÂrena itu jika dipaksakan, meÂnurutnya perlu sosialisasi dalam waktu lama agar masyarakat paÂham dan meminimalisasi adaÂnya kecelakaan yang menelan korÂban. “Kemudian perlu disiapkan infrastruktur, marka jalan, separaÂtor yang mendukung sistem laÂwan arah itu,†tuturnya.
Sebelumnya, wacana
contra flow atau melawan arus lalu lintas bagi busway kembali diwacanaÂkan oleh Kapolda Metro Jaya IrÂjen Sutarman. Munculnya waÂcaÂna ini lantaran kecelakaan di jalur
busway sudah sering terjadi. SisÂtem tersebut diyakini mampu meÂminimalisir kecelakaan dan peneÂrobosan di jalur khusus busway.
Sepanjang 2010, telah terjadi 461 kecelakaan di jalur
busway. Dari kecelakaan tersebut korban meninggal 14 orang, luka berat 22 orang, dan luka ringan 104 orang. Kecelakaan pun paling baÂnyak terjadi antara mobil pribadi yang menerobos masuk ke jalan dengan bus Transjakarta. JumlahÂnya mencapai 145 kasus.
[RM]
BERITA TERKAIT: