Terkuaknya dugaan pemotongan honor hakim itu bermula pada 10 Agustus 2021 lalu dengan dikeluarkannya penetapan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2021 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Nomor 55 Tahun 2014 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi.
Adapun dalam aturan tersebut tertuang hak honorarium bagi para hakim agung.
"(PP) mendasari hakim agung berhak atas honorarium dalam penanganan perkara kasasi dan Peninjauan Kembali (PK) paling lama 90 hari kalender sejak perkara diterima oleh unit penerima surat pada Ketua Majelis sampai perkara dikirim ke pengadilan pengaju, sebagaimana yang tercantum dalam Nota Dinas Panitera," kata Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso melalui siaran persnya, Rabu (11/9).
Namun, kata Sugeng, justru ada pemotongan honor penanganan perkara terhadap hakim agung yang diduga terjadi pada rentang tahun 2022-2024.
Menurut Sugeng, pada tahun 2022, pembayaran honor penanganan perkara terhadap para hakim agung dilakukan dengan cara penyerahan uang tunai dan disertai tanda terima dalam dua bentuk yakni bukti tanda terima hakim menerima seluruh honor dan bukti tanda terima honor telah dipotong.
Pada tanggal 12 September 2023, landasan pemotongan dituangkan dalam Peraturan Sekretaris Mahkamah Agung yang terakhir Surat Keputusan Sekretariat Mahkamah Agung RI Nomor: 649/SEK/SK.KU1.1.3/VIII/2023 tertanggal 23 Agustus 2023 tentang Perubahan atas Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung Nomor: 12/SEK/SK/II/2023 tentang Standar Biaya Honorarium Penanganan Perkara Kasasi dan Peninjauan Kembali bagi Hakim Agung pada Mahkamah Agung Tahun Anggaran 2023 dan Nota Dinas Panitera MA Nomor: 1808/PAN/HK.00/9/2023 tentang Pemberitahuan Alokasi Honorarium Penanganan Perkara (HPP) Tahun 2023.
Kemudian, Sugeng menjelaskan, tata cara penyerahan honor penanganan perkara hakim agung di mana diawali dari kepaniteraan Mahkamah Agung (MA), Asep Nursobah sebagai penanggungjawab Honorarium Penanganan Perkara (HPP) hakim agung.
Asep Nursobah, kata Sugeng, menyiapkan laporan majelis yang menyelesaikan perkara dalam waktu 90 hari.
Selanjutnya, Sugeng mengungkapkan, Asep mengajukan permintaan pembayaran ke Bank Syariah Indonesia (BSI) sebagai bank yang mengirimkan honor ke masing-masing hakim agung.
Namun, pada hari yang sama, BSI diduga otomatis memotong honor penanganan perkara hingga 26,95 persen dari rekening hakim agung.
Sugeng menduga pemotongan honor ini diketahui oleh para pimpinan MA.
"Potongan yang awalnya dilakukan tanpa persetujuan tertulis dan/atau lisan dari hakim agung, dan dikumpulkan di rekening penampungan yang diduga dikelola oleh saudara AN," kata Sugeng.
"Sehingga patut diduga adanya potongan sebesar 26,95 persen adalah perbuatan korupsi yang terjadi atas sepengetahuan pimpinan Mahkamah Agung dan merugikan para hakim agung yang berhak," sambungnya.
Sugeng juga mengatakan adanya penolakan dari hakim agung terkait pemotongan honor penanganan perkara itu.
Namun, lanjut Sugeng, diduga ada intervensi dari pimpinan MA agar para hakim agung menandatangani surat pernyataan di atas materai agar bersedia honor penanganan perkara dipotong.
Sugeng mengungkapkan, jika hal tersebut benar terjadi, maka apa yang dilakukan pimpinan MA telah melanggar peraturan perundang-undangan.
"HPP yang menjadi hak hakim agung diberikan atas dasar Pasal 13 ayat (1) huruf a, juncto Pasal 13 B ayat (1) juncto Pasal 13 C ayat (1) PP Nomor 82 tahun 2021 di mana tidak terdapat aturan pemberian kewenangan pada Sekretaris maupun pimpinan MA untuk melakukan pemotongan," kata Sugeng.
Sugeng mengatakan, mengacu pada laporan tahun MA tahun 2023, jumlah perkara yang diputus sebanyak 27.365.
Jika diasumsikan pemotongan honor hakim agung sebesar 25,95 persen untuk tiap perkara dan dikalikan dengan tiga majelis hakim, maka hasilnya bisa mencapai Rp47,9 miliar.
"Sedangkan tahun 2022 untuk perkara kasasi biasa akan diperoleh pemotongan dana honorarium penanganan perkara hakim agung sebesar Rp49 miliar.
BERITA TERKAIT: