Dijelaskan pakar hukum tata negara Muhammad Rullyandi, Pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman tak berlaku ke hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal itu menyebutkan putusan yang diputus berdasarkan hubungan semenda atau adanya pertalian keluarga karena perkawinan, yaitu pertalian antara suami/istri dan keluarga sedarah dari pihak lain, dapat dibatalkan.
Sementara dalam MKMK, kata dia, pasal tersebut tidak berlaku sekalipun Ketua MK Anwar Usman adalah ipar dari Presiden Joko Widodo.
"Proses MKMK terkait dugaan pelanggaran etik konflik kepentingan Ketua MK Anwar Usman hanya diberikan ruang batas terkait persoalan etik hakim konstitusi," ujar Muhammad Rullyandi dalam keterangannya, Selasa (7/11).
Diketahui, MKMK akan membacakan putusan dugaan pelanggaran kode etik Ketua MK Anwar Usman dan hakim konstitusi lain yang dilaporkan setelah MK memutuskan kepala daerah berumur di bawah 40 tahun bisa maju pilpres hari ini.
Menurut Rullyandi, UU Kekuasaan Kehakiman itu berlaku pada sistem peradilan umum, tidak termasuk untuk hakim konstitusi.
"Karena itu, UU Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 17 ayat (5) hanya berlaku dalam implementasi sistem peradilan umum dan tidak termasuk pada klaster hakim MK," jelasnya.
Oleh sebab itu, Rullyandi meminta MKMK mematuhi peraturan yang ada. Jika MKMK dalam putusannya membatalkan putusan MK terkait syarat usia capres cawapres, maka MKMK dinilai melanggar UUD 1945.
"Dengan demikian maka UUD 1945 wajib menjadi pedoman MKMK yang memahami hakikat putusan MK adalah final dalam suatu pengujian undang-undang," tuturnya.
"Jikalau putusan MKMK membatalkan Putusan MK tentang syarat batas usia capres dan cawapres maka sama saja MKMK melanggar konstitusi UUD 1945," demikian Rullyandi.
BERITA TERKAIT: