Saat hari ini (Minggu, 15/7) ditelusuri melalui situs resmi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berisi data laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) pada laman
https://acch.kpk.go.id/aplikasi-lhkpn/, Eni tercatat melaporkan jumlah kekayaannya tersebut pada 29 Desember 2014.
Dalam catatan LKHPN, kekayaan Eni tersebut berupa bangunan dan tanah sejumlah delapan buah yang berlokasi di Tangerang, Lebak dan Gresik dengan nilai Rp 3,1 miliar lebih.
Selain itu, Wakil Ketua Komisi VII ini juga mempunyai harta bergerak berbentuk transportasi yakni sebuah mobil bermerk Toyota Kijang Innova senilai Rp 160 juta.
Harta lainnya berbentuk logam mulia dan benda bergerak lainnya senilai Rp 3 miliar lebih.
Ia juga memiliki giro setara kas senilai Rp 1,1 miliar. Tak hanya itu Eni juga mempunyai hutang dalam bentuk pinjaman barang dengan total Rp 222 juta.
Eni ditetapkan menjadi tersangka oleh lembaga anti rasuah bersama Pemegang Saham Blackgold Natural Resouces Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo.
Diduga penerimaan uang sebesar Rp 500 juta merupakan bagian dati komitmem fee 2,5 persen dari nila iproyek yang akan diberikan kepada Eni dan kawan-kawan terkait kesepakatan kontrak kerjasama pembangunan PLTU Riau-1.
Penerimaan kali ini diduga merupakan penerimaan keempat dari pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo kepada Eni dengan nilai total setidak-tidaknya Rp 4,8 miliar.
Pemberian pertama pada Desember 2017 sebesar Rp 2 miliar, kedua Maret 2018 sebesar Rp 2 miliar dan ketiga 8 Juni Rp 300 juta. Uang tersebut diduga diberikan melalui staf dan keluarga.
Diduga peran Eni adalah untuk memuliskan proses penandatanganan kerjasama terkait PLTU Riau-1.
KPK telah mengamankan barang bukti yakni uang sebesar Rp 500 juta dan dokumen tanda terima.
Sebagai pihak penerima, Eni Maulani Saragih disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 juncto Pasal 55 (1) ke-1 KUHP.
Sementara sebagai pihak pemberi, Johannes yang merupakan pihak swasta disangkakan melanggar pasal melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU 20/2001.
[wid]
BERITA TERKAIT: