Sementara itu kalangan pegiat anti korupsi memperÂtanyakan komitmen dan itikad baik Polri untuk menyelesaiÂkan kasus tersebut. Apalagi sampai saat ini, upaya yang dilakukan Polri baru sekedar merilis sketsa wajah yang diÂduga sebagai pelaku penyeranÂgan dan mempublikasi hotline yang bisa dihubungi manakala masyarakat memiliki inforÂmasi terkait pelaku.
Peneliti dari
Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter menuturkan, penanganÂan kasus Novel yang dilakuÂkan oleh Polri, jauh berbeda dengan kasus pidana lain yang juga bermodalkan CCTV, yang pengungkapannya cenderung cepat, bahkan hanya dalam hitungan jam/hari.
"Misalnya saja kasus perÂampokan dan pembunuhan di Pulomas, polisi hanya membutuhkan waktu 2 hari untuk menemukan pelaku. Kasus lainnya, pembunuhan Imam Maulana di Kampung Rambutan, polisi hanya memÂbutuhkan waktu 11 jam unÂtuk menangkap pelakunya," ujarnya, kemarin.
Terkait kasus Novel ini, pihaknya mendesak Presiden Jokowi untuk bersikap tegas. Bukan hanya menunggu Polri angkat tangan baru bertinÂdak ke langkah selanjutnya. "Sampai kapan presiden akan menunggu hingga Polri angÂkat tangan baru bertindak? Seharusnya presiden menÂgevaluasi kerja Polri yang hingga saat ini tak kunjung dapat menyelesaikan kasus Novel," sebutnya.
Pihaknya mengusulkan agar Presiden Jokowi segera memÂbentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) independen guÂna mempercepat penanganan kasus Novel. Pembentukan TGPF merupakan salah satu wujud keseriusan dari negara terhadap pengusutan kasus-kasus serupa dan meyakinkan publik bahwa negara berkomitÂmen terhadap pemberantasan korupsi. Sebab penyerangan terhadap Novel juga merupaÂkan bentuk perlawanan terhÂadap gerakan antikorupsi.
"Selain itu, kami juga mengajak masyarakat untuk memberikan dukungan dalam penuntasan kasus Novel denÂgan menandatangani petisi di
change.org serta bersama-sama pada 11 April 2018 mendatangi Istana Negara untuk memberikan semangat pada Novel dan mendesak presiden membentuk TGPF," tandasnya. ***