Jaksa Agung HM Prasetyo beralasan, belum dilaksanaÂkanya eksekusi mati jilid IV dikarenakan masih ada beberapa terpidana mati yang mengajukan peninjauan kembali (PK), dan grasi. Karenanya, pihaknya harus lebih dulu menunggu keputusan dari proses hukum tersebut sebelum menetapkan waktu kapan eksekusi mati akan dilaksanakan.
"Yang jelas Kejaksaan Agung tetap akan melaksanakan ekÂsekusi terhadap semua putusan hukuman mati yang sudah inkÂrach, dan semua hak hukum para terpidana sudah dipenuhi. Karenanya kami tidak ingin tergesa-gesa agar jangan sampai sesudah eksekusi dilakukan, ada PK dan putusan pengadilan yang mengabulkan, kan tidak bisa lagi," kata Pras usai acara penandatanganan nota kesepahaÂman (MoU) antara Jaksa Agung dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Menteri Perhubungan, dan Menteri BUMN di kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, kemarin.
Jaksa dari Nasdem itu menÂgungkapkan, waktu yang diperÂlukan untuk memutuskan pelakÂsanaan eksekusi mati itu sendiri, juga tidak sebentar. Sebab, selain dalam proses grasi yang tidak dibatasi waktu, PK juga bisa dilakukan lebih dari satu kali.
"Sampai saat ini masih ada beberapa terpidana yang mengaÂjukan PK dan grasi. Jadi, jangan pikir kita tidak akan melaksanaÂkan eksekusi mati. Saat ini kita hanya bisa menunggu waktu sampai proses PK dan grasi itu selesai agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari," ujarnya.
Oleh sebab itu, Pras memÂinta agar perkara human mati tidak disamakan dengan perkara lain. "Hukuman mati itu sangat khusus, tidak seperti hukuman lain. Jangan disamakan. Karena kalau perkara pidana lain, perÂmohonan PK tidak menangguhÂkan pelaksanaan putusan, namun lain halnya dengan pidana mati," paparnya.
Sebelumnya, Mabes Polri mendesak Kejaksaan Agung untuk segera mengeksekusi 10 terpidana mati kasus narkoba. Desakan itu ditenggarai karena semakin banyaknya bandar narkoba jaringan Internasional yang diringkus Kepolisian karÂena membawa berton-ton narkoÂtika jenis sabu ke Tanah Air.
Berdasarkan catatan, sepaÂnjang 2017 tidak ada satu pun terpidana mati yang dieksekuÂsi Kejagung. Padahal masih ada sekitar 10 orang gembong narkoba yang divonis hukuman mati. Mereka adalah Humphrey Jefferson, Ozias Sibanda, Eugene Ape, Obina Nwajagu, Okonkwo Nonso Kingsley, Merri Utami, Agus Hadi, Pujo Lestari, Gurdip Singh, Zulfikar Ali dan Frederick Luttar.
Sejauh ini Kejagung sudah menggagendakan eksekusi taÂhap tiga. Namun dari 14 orang narapidana yang diagendakan, hanya empat orang yang telah dieksekusi.
Keempat orang itu adalah Michael Titus Igweh (Nigeria), Freddy Budiman (WNI), Humphrey Ejike (Nigeria) dan Seck Osmane (Senegal). Keempat orang itu dieksekusi sekitar pukul 00.45 WIB di Lapangan Tunggal Panaluan, Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Sabtu (29/7) lalu.
Untuk eksekusi gelombang pertama dilakukan terhadap enam terpidana mati pada18 Januari 2015 dengan anggaran mencapai Rp1,2 miliar. Artinya untuk melakukan eksekusi mati per orang dibutuhkan biaya sekitar Rp 200 juta. Sedangkan delapan orang berikutnya diekÂsekusi pada gelombang kedua, pada 29 April 2015. Mahkamah Konstitusi memutuskan permoÂhonan grasi tidak dibatasi waktu. Kendati demikian, grasi tidak bisa menunda pelaksanaan ekÂsekusi mati pada terpidana.
Putusan itu dikabulkan atas permohonan pembunuh bos Asaba, Suud Rusli, yang mengÂgugat undang-undang grasi. Sebelum putusan MK dikabulÂkan, grasi maksimal diajukan hanya 1 tahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap (inkÂrach). ***
BERITA TERKAIT: