Jaksa Agung Belum Dor Juga Bandar Narkoba, Ada Apa?

Alasannya Tetap Klise

Jumat, 02 Maret 2018, 09:48 WIB
Jaksa Agung Belum Dor Juga Bandar Narkoba, Ada Apa?
HM Prasetyo/Net
rmol news logo Keseriusan Kejaksaan Agung memerangi narkoba patut diragukan. Pasalnya, eksekusi mati jilid IV terhadap 10 bandar narkoba yang sedianya dilaksanakan tahun lalu, hingga kini tak kunjung dilaksanakan. Padahal, NKRI sudah darurat narkoba.

Jaksa Agung HM Prasetyo beralasan, belum dilaksana­kanya eksekusi mati jilid IV dikarenakan masih ada beberapa terpidana mati yang mengajukan peninjauan kembali (PK), dan grasi. Karenanya, pihaknya harus lebih dulu menunggu keputusan dari proses hukum tersebut sebelum menetapkan waktu kapan eksekusi mati akan dilaksanakan.

"Yang jelas Kejaksaan Agung tetap akan melaksanakan ek­sekusi terhadap semua putusan hukuman mati yang sudah ink­rach, dan semua hak hukum para terpidana sudah dipenuhi. Karenanya kami tidak ingin tergesa-gesa agar jangan sampai sesudah eksekusi dilakukan, ada PK dan putusan pengadilan yang mengabulkan, kan tidak bisa lagi," kata Pras usai acara penandatanganan nota kesepaha­man (MoU) antara Jaksa Agung dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Menteri Perhubungan, dan Menteri BUMN di kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, kemarin.

Jaksa dari Nasdem itu men­gungkapkan, waktu yang diper­lukan untuk memutuskan pelak­sanaan eksekusi mati itu sendiri, juga tidak sebentar. Sebab, selain dalam proses grasi yang tidak dibatasi waktu, PK juga bisa dilakukan lebih dari satu kali.

"Sampai saat ini masih ada beberapa terpidana yang menga­jukan PK dan grasi. Jadi, jangan pikir kita tidak akan melaksana­kan eksekusi mati. Saat ini kita hanya bisa menunggu waktu sampai proses PK dan grasi itu selesai agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari," ujarnya.

Oleh sebab itu, Pras mem­inta agar perkara human mati tidak disamakan dengan perkara lain. "Hukuman mati itu sangat khusus, tidak seperti hukuman lain. Jangan disamakan. Karena kalau perkara pidana lain, per­mohonan PK tidak menangguh­kan pelaksanaan putusan, namun lain halnya dengan pidana mati," paparnya.

Sebelumnya, Mabes Polri mendesak Kejaksaan Agung untuk segera mengeksekusi 10 terpidana mati kasus narkoba. Desakan itu ditenggarai karena semakin banyaknya bandar narkoba jaringan Internasional yang diringkus Kepolisian kar­ena membawa berton-ton narko­tika jenis sabu ke Tanah Air.

Berdasarkan catatan, sepa­njang 2017 tidak ada satu pun terpidana mati yang diekseku­si Kejagung. Padahal masih ada sekitar 10 orang gembong narkoba yang divonis hukuman mati. Mereka adalah Humphrey Jefferson, Ozias Sibanda, Eugene Ape, Obina Nwajagu, Okonkwo Nonso Kingsley, Merri Utami, Agus Hadi, Pujo Lestari, Gurdip Singh, Zulfikar Ali dan Frederick Luttar.

Sejauh ini Kejagung sudah menggagendakan eksekusi ta­hap tiga. Namun dari 14 orang narapidana yang diagendakan, hanya empat orang yang telah dieksekusi.

Keempat orang itu adalah Michael Titus Igweh (Nigeria), Freddy Budiman (WNI), Humphrey Ejike (Nigeria) dan Seck Osmane (Senegal). Keempat orang itu dieksekusi sekitar pukul 00.45 WIB di Lapangan Tunggal Panaluan, Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Sabtu (29/7) lalu.

Untuk eksekusi gelombang pertama dilakukan terhadap enam terpidana mati pada18 Januari 2015 dengan anggaran mencapai Rp1,2 miliar. Artinya untuk melakukan eksekusi mati per orang dibutuhkan biaya sekitar Rp 200 juta. Sedangkan delapan orang berikutnya diek­sekusi pada gelombang kedua, pada 29 April 2015. Mahkamah Konstitusi memutuskan permo­honan grasi tidak dibatasi waktu. Kendati demikian, grasi tidak bisa menunda pelaksanaan ek­sekusi mati pada terpidana.

Putusan itu dikabulkan atas permohonan pembunuh bos Asaba, Suud Rusli, yang meng­gugat undang-undang grasi. Sebelum putusan MK dikabul­kan, grasi maksimal diajukan hanya 1 tahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap (ink­rach). ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA