Ada Apa Dengan KPK?

Bayar Ganti Rugi 100 Juta Ke Koruptor

Selasa, 22 Agustus 2017, 09:12 WIB
Ada Apa Dengan KPK?
Foto/Net
rmol news logo Gara-gara salah sita dalam operasi tangkap tangan (OTT), KPK harus membayar ganti rugi Rp 100 juta. Pasalnya, pihak yang dirugikan membawa kasus itu ke meja hijau dan menang.

Penggugat KPK itu bernama Syafrudin Umar, mantan hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Syafrudin ditangkap di rumahnya Juni 2011 lantaran diduga menerima suap dari kurator. Syafrudin kala itu menjabat hakim pengawas pailit PT Skycamping Indonesia (PT SCI).

Dalam OTT yang mengantarkan Syafrudin menjadi tersangka, KPK menyita sejumlah barang bukti. Di antaranya, lima ponsel tersangka, flashdisk dan uang Rp 250 juta. Dia pun dijebloskan ke dalam penjara selama empat tahun, plus denda Rp 150 juta. Secara konstitusional, Syafrudin melawan.

Dia melakukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap kasusnya hingga ke tingkat Mahkamah Agung (MA). MA menolak PK yang diajukan Syafrudin ihwal permintaan dibebaskan dari jerat hukum. Namun, MA mengamini kasasi Syafrudin ihwal penyitaan barang bukti berupa sejumlah uang yang dianggap tidak berkaitan dengan kasus suap yang menjeratnya.

Syafrudin memang mengugat secara perdata ke PN Jaksel. Kala itu, dia meminta ganti rugi Rp 5 miliar. Namun, PN Jaksel mengabulkan dan menghukum KPK memberikan ganti rugi kepada Syafrudin sebesar Rp 100 juta. Putusan ini dikuatkan Pengadilan Tinggi Jakarta dan tingkat kasasi. Vonis kasasi diketok oleh Syamsul Maarif, Valerine JL Kriekhoff dan Hamdan. Perkara itu diputuskan 13 Maret 2014. Atas vonis ini, KPK mengajukan PK. Tapi MA menolak PK dari KPK.

Nah, kemarin, Syafrudin menerima pembayaran ganti rugi dari KPK atas gugatan adanya tindakan perbuatan melawan hukum. Uang ganti rugi tersebut diterima sebanyak Rp 100 juta. Serah terima ini dilakukan di ruang rapat lantai II Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Pemberian uang tersebut melalui panitera I Gede Ngurah Arya Winaya sebab KPK telah menitipkan uang tersebut di PN Jaksel sebelumnya. "KPK telah memenuhi putusan ini dengan menitipkan uang di pengadilan Rp 100 juta. Maka hari ini pengadilan akan serahkan uang tersebut ke Syafrudin," kata I Gede di PN Jaksel, kemarin. Uang itu diterima Syafrudin dalam bentuk cek dan disaksikan biro hukum KPK dan anggota Pansus Hak Angket KPK, Misbakhun.

Sebagai koruptor, Syafrudin menang. Dia menganggap KPK telah melakukan keteledoran dalam melaksanakan tugasnya. "Saya yang sudah lama mendambakan, saya butuh uang tapi saya tidak perlukan uang ini. Nanti saya jelaskan setelah pelaksanaan. Ini satu kebodohan lagi terjadi hal yang menyimpang. Surat kuasa oleh KPK untuk ajukan PK, bukan surat kuasa hadir dalam eksekusi. Ini adalah kecolongan dan kebodohan," kata Syafrudin, kemarin.

Syafrudin sepertinya belum puas. Sudah menang secara perdata, mantan hakim itu langsung merapat ke Pansus Hak Angket KPK yang selama ini gencar melakukan kritisi dan evaluasi terhadap lembaga antirasuah. "Tapi saya terima kebodohan yang terjadi. Selebihnya ini saya akan ungkap ke pansus," ujarnya.

Kalah dari koruptor membuat KPK introspeksi. Juru Bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan, bagi pihak yang keberatan dengan proses hukum yang dilakukan KPK dapat menyelesaikannya melalui jalur hukum. "Bukan ditarik ke proses politik. KPK menghormati hasil dari proses hukum tersebut meskipun sejak awal terdapat perbedaan pandangan terkait materi perkara," ujar Febri, kemarin.

Meski begitu, Febri menyampaikan pihaknya sudah melakukan tindakan benar. Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Syafrudin terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan menerima suap dengan ganjaran hukuman empat tahun penjara serta denda Rp 150 juta subsidair empat bulan kurungan. "Jika dicermati sejak awal, hal ini bermula dari OTT yang dilakukan KPK awal Juni 2011. Kami menangkap tangan transaksi suap antara seorang kurator dan hakim. OTT tersebut justru berhasil hingga terdakwa dijatuhi vonis 4 tahun penjara dan denda Rp 150 juta serta Rp 250 juta yang merupakan bukti suap dirampas untuk negara," katanya.

Menurut Febri, terdapat perbedaan pendapat mengenai bukti lain yang disita KPK saat menangkap Syafrudin. Untuk itu, Syafrudin menggugat KPK secara perdata. KPK menilai, upaya hukum terhadap penggeledahan maupun penyitaan seharusnya melalui praperadilan. "Proses hukum tersebut tentu kami hadapi semaksimal mungkin. KPK berpandangan seharusnya upaya hukum terhadap penggeledahan ataupun penyitaan adalah di praperadilan bukan perdata. Namun hakim berpandangan berbeda dan sebagai penegak hukum tentu kami wajib hormati putusan pengadilan," katanya.

Menanggapi ini, pengamat hukum dari Universitas Parahyangan Bandung Prof Asep Warlan Yusuf menyayangkan KPK kalah dalam kasus perdata terhadap koruptor. "Ada apa dengan KPK, kok bisa kalah. Ini harus jadi introspeksi buat KPK dalam proses penegakan hukum," ujar Asep kepada Rakyat Merdeka. Dia menyayangkan kasus ini mulai bergeser ke politis lantaran Syafrudin melapor ke Pansus KPK. Dia berharap, jika ini menjadi ramai, tidak mempengaruhi kinerja KPK dalam mengungkap kasus besar seperti mega korupsi E-KTP. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA