Dalam kesaksiannya Abdul Kadir mengaku pernah mengelontorkan uang lebih dari Rp 9 miliar sebagai jatah untuk anggota DPR dan pejabat di Kementerian Agama.
Menurut Abdul Kadir, seharusnya dana yang dikeluarkannya mencapai Rp10 miliar lebih, namun dirinya hanya sanggup mengeluarkan uang Rp 9,2 miliar. Itupun lanjut Abdul Kadir, dirinya harus menambah sertifikat tanah.
"Pada pertemuan Juli 2011 sudah diberitahu bahwa ada proyek pekerjaan pengadaan Alquran 2011 dan 2012. Waktu itu syaratnya fee 15 persen per proyek yang dikerjakan," ujar Abdul Kadir saat bersaksi untuk terdakwa Fahd El Faouz alias Fahd A Rafiq di Pengadilan Tipikor Jakarta, jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Kamis (3/8).
"Total seharusnya Rp 10 miliar, tapi kami hanya bisa menyerahkan Rp 9,2 miliar plus sertifikat tanah," sambung Abdul Kadir.
Lebih lanjut, Abdul Kadir menjelaskan sejauh yang diketahuinya proyek tersebut merupakan milik Fahd. Dirinya tidak mengetahui siapa pihak yang dibelakang Fadh untuk meloloskan perusahaan yang dipimpinnya dalam proyek tersebut.
Namun setelah pertemuan pada April 2011, dirinya mengetahui, Zulkarnaen Djabar merupakan orang yang di belakgan Fadh untuk menurus proyek pengadaan Alquran di DPR.
"Setelah bulan April, waktu itu (Fahd) nyebut 'bapak lu' ke Dendy (Dendy Prasetia Zulkarnaen Putra) saya baru tahu itu bapaknya Dendy (Zulkarnaen Djafar)," ujar Abdul Kadir.
Dalam kasus ini, Fahd didakwa bersama-sama dengan anggota Badan Anggaran DPR Zulkarnaen Djabar dan anaknya, Dendy Prasetia Zulkarnaen Putra. Ketiganya menerima suap sebesar Rp 14,3 miliar karena telah menjadikan PT Batu Karya Mas sebagai pemenang dalam pekerjaan pengadaan laboratorium komputer.
Kemudian, menjadikan PT Adhi Aksara Abadi Indonesia sebagai pemenang dalam pekerjaan pengadaan kitab sucil Al Quran tahun 2011. Selain itu, memenangkan PT Sinergi Pustaka Indonesia sebagai pemenang dalam pekerjaan pengadaan Al Quran tahun 2012.
[san]
BERITA TERKAIT: