"Di sini saya tekankan bahwa Kejaksaan tidak menangani masalah pajak. Pajak urusan Ditjen Pajak. Yang ditangani Kejagung masalah korupsinya. Jadi, bukan pajaknya," ujar Prasetyo, di Kompleks Mabes Polri, Kamis (6/7).
Menurut Prasetyo, Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) telah mengeluarkan hasil audit pembayaran restitusi tersebut. Hasilnya, terdapat kerugian negara yang berindikasi unsur pidana dan harus diusut tuntas aparat penegak hukum.
"Hasil audit BPK juga ada, kerugian negara disana. Kita sangat tahu pajak bukan kewenangan kami. Tapi, kami menangani kasus korupsinya. Ada (dugaan) korupsi di sana," terang Prasetyo.
Terkait keterlibatan Hary Tanoesoedibjo (HT), Prasetyo mengaku masih terus menyelidikinya. Namun, hingga saat ini, HT masih berstatus sebagai saksi dalam kasus tersebut.
"Sekarang kan (HT) jadi saksi. Kita lihat seperti apa (perkembangannya). Sekarang dalam pemeriksaan. Siapa pun yang terlibat tentunya akan dimintai pertanggungjawaban," pungkasnya.
Sebelumnya, pengacara CEO MNC Group Hary Tanoesoedibjo, Hotman Paris menganggap bahwa Kejaksaan Agung tidak berwenang menangani kasus yang menyeret Mobile 8.
Apalagi, kasus itu sudah pernah dibawa ke praperadilan dengan kekalahan Kejaksaan Agung.
Setelah itu, kejaksaan membuka lagi penyidikan baru dengan menerbitkan surat perintah penyidikan dalam kasus yang sama.
"Seribu kali bukti pun tetap ini kasus restitusi. Sementara menurut pengadilan, kewenangan PPNS untuk menangani restitusi pajak. Undang-undangnya ada," kata Hotman.
Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung menemukan transaksi fiktif antara Mobile 8 dan PT Jaya Nusantara pada rentang 2007-2009.
Saat itu, PT Mobile 8 mengerjakan proyek pengadaan ponsel berikut pulsa dengan nilai transaksi Rp 80 miliar.
PT Jaya Nusantara Komunikasi ditunjuk sebagai distributor pengadaan. Namun, perusahaan tersebut ternyata tak mampu membeli barang dalam jumlah itu.
Akhirnya, transaksi pun direkayasa seolah-olah terjadi perdagangan dengan membuatkan invoice sebagai fakturnya.
Pada pertengahan 2008, PT Djaya Nusantara Komunikasi menerima faktur pajak dari PT Mobile 8 dengan total nilai sekitar Rp 114 miliar.
Faktur pajak itu diterbitkan agar seolah-olah terjadi transaksi pada dua perusahaan.
Faktur pajak itu kemudian digunakan PT Mobile 8 untuk mengajukan kelebihan pembayaran (restitusi pajak) kepada negara melalui KPP di Surabaya agar perusahaannya masuk bursa Jakarta pada 2009.
PT Mobile 8 akhirnya menerima pembayaran restitusi meski tidak berhak karena tidak ada transaksi.
[san]
BERITA TERKAIT: