Hal ini terang jika AR tidak memiliki peran dalam rangkaian terjadinya peristiwa dan perbuatan pidana yang dituduhkan jaksa terhadap terdakwa SFS. Atau dengan kata lain AR bukan orang yang melakukan, menyuruh lakukan, membantu lakukan atau memberikan pengaruh sehingga terjadinya korupsi. Terhadap fakta ini begitu jelas AR bukan pihak yang terjerat hukum ataupun sedang berperkara. Maka tidak ada beban padanya untuk lakukan pembuktian terbalik.
Fakta hukum lainnya adalah, bahwa jaksa tidak pernah menguraikan keterlibatan aktif AR baik langsung atau tidak langsung, jika AR tidak pernah meminta untuk di transfer dana sebanyak enam kali dengan jumlah total 600 Juta.
Transfer dana yang diberikan Yayasan Sutrisno Bachir Foundation tersebut karena Sutrisno Bachir anggap AR sebagai orangtua. Motif transfer dana adalah membantu karena unsur rasa kekeluargaan yang telah terjalin. Pengakuan itu diberikan dalam keterangan saksi dipersidangan yaitu NS dan Y. Bahkan setelah dilakukan transfer dana kepada AR, saksi NS dan Y tidak pernah mengkonfirmasi kepada AR bahwa uang sudah ditransfer.
Ada empat catatan penting dari fakta transfer dana tersebut. Pertama, fakta jika AR tidak pernah aktif meminta transfer dana pada siapapun. Kedua, setelah lakukan transfer dana oleh NS dan Y tidak ada konfirmasi kepada AR. Ketiga, motif transfer dana semata mata karena bantuan sukarela karena anggap AR sudah seperti keluarga. Keempat, belum bisa dibuktikan apakah dana yang ditransfer itu adalah hasil dari kejahatan korupsi.
Dari beberapa catatan penting di atas, dapat disimpulkan meskipun transfer dana dilakukan kepada AR akan tetapi belum tentu AR korupsi. Secara hukum, betapa prematur menuding AR korup sementara proses pembuktian dan dimintai keterangan saja tak pernah terjadi padanya.
Mendeteksi tanggung jawab pidana tidak bisa serta merta karena asumsi atas perbandingan kasus korupsi lain yang serupa. Dengan membandingkan di kasus lain ada aliran dana terjadi dan pelaku dijerat korupsi, lalu kemudian lakukan penyederhanaan berfikir jika AR juga sama demikian. Nalar seperti ini tidaklah tepat. Seseorang yang terima transfer dana belum tentu dapat di klaim korupsi. Semua ini akan berakhir pada pembuktian sebagai ujung tombak dalam mencari kebenaran materiil.
Menelisik penuntutan yang sebut nama AR ini harus rasional. Tanpa harus membuat skenario tendesi yang melebar. Bukan berarti segalanya tak perlu dievaluasi. Hak Penuntutan boleh sebut siapapun sepanjang itu membuat jelas dan terang rangkaian peristiwa dan perbuatan pidana yang sedang dibuktikannya. Tapi harus pula diperhatikan, hak penuntutan juga dibatasi untuk menghargai hak praduga tak bersalah yang melekat pada siapapun.
Secara teknis, sebut nama siapapun di proses penuntutan harus diimbangi proses klarifikasi dan pemeriksaan terlebih dahulu sebelum dimulainya penuntutan. Konkritnya jika AR pada tahap penyidikan pernah dimintai keterangan terkait aliran dana tersebut mungkin akan lain ceritanya. Nalar awam saja, siapa yang tidak reaktif disebut terima dana tanpa diperiksa dan dimintai keterangan sebelumnya. Tentu ini menyangkut nama baik dan hak untuk membela diri disemua level proses hukum, baik di proses penyidikan sampai pada pembuktian di persidangan.
Saat ini betapa sulit kita melihat rasionalitas tuntutan jaksa yang sejatinya belum menuntaskan pekerjaan dengan rapi pada level penyidikan. Sehingga nama baik AR saat ini dipertaruhkan ditengah polemik yang spekulasikan dirinya lakukan korupsi atau tidak.
Rasionalitas tangani proses hukum secara profesional begitu amat penting. Sehingga akurasi penuntutan yang taat asas dan prosedur tidak akan korbankan nama baik siapapun. Terang, AR sejauh ini adalah korban dari penuntutan yang kurang rapi karena disebabkan tahap penyidikan yang sama sekali tak memberi kesempatan AR untuk membela diri dan sampaikan klarifikasi.
[***]
Penulis adalah Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Bidang Hukum
BERITA TERKAIT: