Hal itu disampaikan Wiranto saat menjadi pembicara kunci dalam diskusi yang digelar KNPI yang bertajuk "Merajut Indonesia dalam bingkai Kebhinekaan," di Aula PTIK, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, kemarin. Hadir Ketua Umum KNPI Muhammad Rifai Darus dan Pengamat Hukum Politik Firman Jaya Daeli.
Dalam pidatonya, Wiranto menyampaikan berbagai persoalan kebangsaan termutakhir seperti ancaman perpecahan bangsa dan aksi terorisme. Soal yang pertama, Wiranto tak banyak memberikan contoh. Tapi dia bilang, persatuan dan kesatuan yang merupakan warisan para pendiri bangsa diperjuangkan dengan darah dan air mata sedang terancam. Indikasinya nyata. Ada titik tertentu yang ingin memecah kebhinekaan. "Kalau embiro itu kita biarkan, itu bisa memecah kita," kata Wiranto.
Jika ancaman ini dipelihara dan dibiarkan, lanjutnya, Indonesia bisa berakhir seperti Mesir, Libya, Afghanistan, Suriah dan Irak. Negara-negara berkembang ini akhirnya terlibat konflik berkepanjangan karena gagal menjaga keragamannya. Negara-negara tersebut akhirnya tidak bisa eksis lantaran tidak mampu menjaga solidaritas dan persatuan.
Bagaimana kondisi Indonesia saat ini? Wiranto menyebut penyelenggaraan demokrasi saat ini memang belum sempurna. Ekonomi juga belum sepenuhnya stabil, meski dalam beberapa hal Indonesia masih unggul dan berada di peringkat atas. Banyak hal yang belum tercapai. Tapi, kata dia, semua sudah direncanakan pemerintah dan itu membutuhkan waktu. Indonesia tidak bisa menjadi sangat spektakuler dalam waktu singkat.
Eks Ketum Partai Hanura ini menyampaikan bahwa pemerintah sedang bekerja. Dan dia menjamin negara bisa merangkul semua pihak dan mendengarkan suara rakyat. Wiranto berani menjamin karena pernah merasakan menjadi menteri di empat pemerintahan yaitu, di penghujung era Presiden Soeharto, BJ Habibie dan Gus Dur. Dan di antara ketiga Presiden yang pernah jadi atasannya itu, Wiranto menyebut pemerintahan Jokowi-JK adalah yang terbaik. Salah satu contohnya adalah bagaimana menteri "dipaksa" ikut rapat terbatas yang terus-terusan untuk mencari solusi.
Dia mencontohkan, di era BJ Habibie, rapat terbatas dengan para menteri hanya digelar sepekan dua kali. Sementara di era Gus Dur, tidak ada kewajiban ikut ratas, yang penting kerjaan beres. Nah, di era Jokowi rapat terbatas bisa dilakukan 2-3 kali dalam seminggu. Ratas itu digelar untuk merespons kehendak publik.
"Saya menyampaikan agar Anda punya gambaran. Saya bicara jujur. Ini bulan puasa, saya nggak bohong," terangnya.
Wiranto juga meminta seluruh elemen bangsa mencari formula agar masalah yang bikin galau ini segera diakhiri. Wiranto juga berpesan agar masyarakat tak ragu menyampaikan ke pemerintah mengenai aspirasi yang dirasa benar. "Kalau
right, say it right. Kalau wrong, say it wrong, tapi jangan didemo terus," ujarnya.
Pengamat politik dari Universitas Parahyangan Bandung, Muradi menyampaikan, adanya perpecahan bangsa tak lain dari hasil kerjaan para elite politik. Mereka seperti sengaja memanfaatkan isu-isu sensitif untuk memenangkan pertarungan di Pilgub DKI. Inilah yang kemudian menjadi beban di level bawah hingga di akar rumput. Isu-isu SARA masih terus
menyebar hingga hampir ke tiap daerah. "Jika pertarungan Pilgub DKI kemarin adalah pertarungan adu visi dan program mungkin akan beda ceritanya," kata Muradi saat dikontak
Rakyat Merdeka, tadi malam.
Karena itu, dia meminta para elite jangan seolah merasa paling bersih dan cuci tangan. Seolah keadaan politik yang memanas hari ini adalah kerjaan di level bawah. Agar situasi ini tidak dimanfaatkan, atau sengaja diperkeruh, Muradi menyarankan para elite segera berkonsolidasi, mengerem dan mendorong proses kondusivitas di lapangan. "Untuk menentramkan situasi ini kuncinya ada di elite," pungkasnya. ***
BERITA TERKAIT: