Padahal, sebelumnya KPK yang menyarankan Kementerian Dalam Negeri menggandeng LKPP sebagai pendamping dalam proyek beranggaran Rp 5,6 triliun itu.
Menurut Pringgo, keputusan untuk tidak mengikuti saran LKPP dalam proyek tersebut merupakan instruksi dari terdakwa, Sugiharto, yang saat itu menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
"PPK minta lelang digabung, ya kami laksanakan. Tidak tahu alasannya apa, tapi nota dinas seperti itu," kata Pringgo saat dihadirkan dalam sidang lanjutan perkara E-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Kamis (13/4).
Sebelum lelang dilakukan, pihaknya menggelar rapat di Kementerian Dalam Negeri. Rapat itu dihadiri oleh Ketua LKPP, Agus Rahardjo, yang kini menjabat sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam rapat itu, menurut Pringgo, LKPP menyarankan agar proyek pekerjaan yang akan dilelang tidak dijadikan satu paket. Tujuannya untuk mempermudah pelaksanaan lelang.
"Tapi saya dengar ada masukan bahwa kalau dipisah, nanti tidak terintegtrasi. Memang barang bisa dibeli semua, tapi nanti bisa salah, bisa enggak connect," ujar Pringgo.
LKPP merekomendasikan agar sembilan lingkup pekerjaan dalam proyek E-KTP tidak digabungkan, karena peluang kegagalan dalam proses pemilihan dan pelaksanaan pekerjaan sangat besar. Hal itu berpotensi menimbulkan kerugian negara, serta akan menghalangi kompetisi dan persaingan sehat.Dalam kenyataannya sembilan paket pekerjaan itu tetap digabungkan dalam proses lelang.
Agus Rahardjo juga mengaku bahwa LKPP saat itu mundur dari pendampingan proyek lantaran sarannya tidak diikuti oleh panitia pengadaan.
Agus menyebut ada beberapa saran yang diberikan yaitu tentang tender yang harus menggunakan e-procurement dan pekerjaan dipecah menjadi beberapa paket. Paket-paket itu meliputi antara lain pembuat sistem sebagai integrator, paket kartu dan chip, paket PC, paket kamera, paket finger print identification, paket pembaca retina.
[ald]
BERITA TERKAIT: