Juru Bicara KPK Febri Diansyah menjelaskan, koordinasi dilakukan lantaran Arie berasal dari unsur militer. Selain itu, proses hukum terhadap Arie nantinya akan dilakukan oleh Puspom TNI.
"Kami lakukan lebih intensif dengan pihak Pom TNI agar penanganan kasus ini bisa dituntaskan. Selain memang KPK juga tentu punya target kinerja untuk lebih maksimal," ujarnya di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (10/3).
Sebelumnya, dalam sidang perdana pembacaan dakwaan terhadap pegawai PT Merial Esa Hardy Stefanus, jaksa penuntut KPK yang dipimpin Kiki Ahmad Yani membeberkan bahwa Arie meminta keuntungan atau fee sebesar 7,5 persen dari nilai proyek Rp 222,4 miliar.
Hardy didakwa menyuap empat pejabat Bakamla terkait proyek pengadaan monitoring satelit sebesar SGD 209.500, USD 78.500, dan Rp 120 juta. Pemberian suap awalnya bertujuan agar perusahaan milik Fahmi Darmawansyah yakni PT Melati Technofo Indonesia dimenangkan dalam tender proyek.
Keikutsertaan perusahaan milik Fahmi diawali kedatangan politisi PDI Perjuangan Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi dan Arie Soedewo ke kantor PT Merial Esa di Jalan Imam Bonjol, Jakarta. Dalam pertemuan itu, Ali Fahmi menawarkan Fahmi Darmawansyah yang juga direktur utama PT Merial Esa untuk bermain proyek di Bakamla. Namun, Fahmi diminta untuk mengikuti arahan Ali Fahmi dan memberikan fee sebesar 15 persen dari nilai pengadaan.
Selanjutnya, Ali Fahmi mengatakan kepada Fahmi bahwa anggaran telah disetujui sebesar Rp 400 miliar. Untuk itu, dia meminta pembayaran fee di muka sebesar enam persen dari nilai anggaran.
Sekitar Oktober 2016, di ruang kerja Arie Soedewo dan kuasa pengguna anggaran (KPA) Satuan Kerja Bakamla Tahun Anggaran 2016 Eko Susilo Hadi membahas jatah 7,5 persen fee untuk Bakamla. Ari Soedewo kemudian meminta agar fee sebesar dua persen dibayarkan lebih dulu. Arie Soedewo kemudian meminta Eko Susilo Hadi membicarakan fee itu kepada dua pegawai PT Merial Esa yakni Hardy Stefanus dan Adami Okta. Permintaan itu kemudian disetujui oleh Adami Okta.
Setelahnya, Arie Soedewo menyampaikan kepada Eko Susilo untuk memberi Bambang Udoyo selaku direktur Data dan Informasi Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerja Sama Bakamla dan Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan masing-masing sebesar Rp 1 miliar.
Eko Susilo kemudian menindaklanjuti dan meminta kepada Adami Okta agar uang yang diberikan dalam bentuk pecahan dolar Singapura. Hal itu kemudian dipenuhi seluruhnya.
[wah]
BERITA TERKAIT: