Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengungkapkan, pada 26 Oktober lalu terdapat ekspor kondensat oleh perusahaan yang hanya punya izin niaga yaitu PT Gasuma Federal Indonesia (GFI). Diduga, perusahaan yang berkedudukan di Tuban tersebut memperoleh rekomendasi dari Ditjen Migas Kementerian ESDM untuk melakukan ekspor kondensat.
Adanya izin dan rekomendasi ekspor kondensat tersebut disinyalir telah melanggar Undang-Undang 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3/2015 yang direvisi dari Permendag 42/2009 dirancang khususnya untuk mencegah mafia migas.
Adapun, periode ekspor biasanya hingga akhir tahun atau per kuartal. Satu kali izin ekspor kerap digunakan untuk tiga hingga empat lifting kondensat. Tujuan ekspor diduga ke Singapura dan Thailand dengan menggunakan kapal MT Danai 8 yang sering digunakan untuk kepentingan Kernell Oil.
"Bahkan diduga ada perusahaan bernama PT Kimia Yasa dan PT Laban Raya Samodra yang bertugas mengurus izin ekspor kondensat dari produk PT GFI tersebut. Kalau informasi ini benar, dialah pemain lama," kata Yusri dalam keterangannya, Minggu (30/10).
Anehnya, ekspor dilakukan pada saat kebutuhan kondensat dalam negeri masih sangat kekurangan. Karena itu, rekomendasi yang akan dikeluarkan Ditjen Migas berpotensi melanggar UU Migas dan Permendag serta potensi hilangnya pemasukan negara dari pajak.
Yusri menjelaskan, kabar yang diperoleh, ekspor kargo kondensat dilakukan melalui Pelabuhan Dovechem Maspion Terminal (DMT) di Gresik yang dikelola PT Dovechem Maspion Terminal. PT GFI diketahui selama ini memproduksi elpiji sebanyak 50 ton dan kondensat 450 barel per hari (bph), serta produksi gas sebanyak 14 MMscfd. Perseroan memperoleh sumber flare gas dari JOB PetroChina.
Menurutnya, ekspor kondensat yang dilakukan PT GFI sangat ironis di tengah banyak industri cat, thinner dan lem membutuhkan kondensat sebagai pelarut dengan spesifikasi yang sesuai yang dihasilkan oleh PT GFI.
"Kebutuhannya mencapai 2.000 barel per hari. Jadi industri pengguna kondensat sebagai solven atau pelarut masih kurang sekitar per harinya 1.000 bpd. Nah apakah ini tidak dikatakan gila kalau dipaksakan ekspor," ujarnya.
Di satu sisi, kondensat yang diproduksi PT GFI tidak pernah digunakan oleh kilang TPPI yang mogas mode. Bahkan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk pun tidak bisa menggunakan langsung kondensat dari PT GFI kecuali di-blending terlebih dahulu dengan kondensat ringan yang diimpor selama ini.
"Jadi sangat keliru besar misalnya jika Chandra Asri yang dijadikan referensi oleh Ditjen Migas karena mereka sudah punya kontrak jangka panjang dengan produsen kondensat di Timur Tengah," beber Yusri.
Menurutnya, selama ini kilang milik Chandra Asri diketahui hanya bisa menerima kondensat dari PT Perta-Samtan Gas (PSG) dan PT Media Karya Sentosa (MKS) yang ada di Gresik.
"Itu pun tidak lebih dari lima persen kebutuhan kilang Chandra Asri yang per harinya membutuhkan pasokan kondensat hingga 40 ribu bph, impor mereka bisa mencapai 1,8 juta metric ton," kata Yusri.
Sebelumnya, Dirjen Migas IGN Wiratmaja Puja mengakui bahwa pihaknya telah mengeluarkan rekomendasi ekspor kondensat untuk kuartal kedua tahun 2016 ini.
"Dalam pemrosesan permohonan rekomendasi ekspor kondensat Q2-2016 telah dilaksanakan rapat pembahasan bersama produsen dan pengguna besar kondensat," katanya.
Menurut Wiratmaja, dalam rapat, PT Chandra Asri menyampaikan bahwa kebutuhan bahan baku untuk kilangnya telah terpenuhi hingga satu tahun ke depan.
"Dan melalui surat, pengguna besar lainnya yaitu TPPI menyampaikan bahwa spesifikasi kondensat dari PT Gasuma Federal Indonesia tidak sesuai dengan kebutuhan TPPI," jelasnya.
Atas penjelasan tersebut, Yusri menilai bahwa Dirjen Migas telah menerima informasi menyesatkan dari bawahan. Dia pun menjamin 1000 persen jika kondensat dapat diserap industri lokal. Ddan secara tegas menyatakan bahwa kondensat produksi PT GFI ini termasuk berkualitas rendah karena mengandung sulfur relatif tinggi dan berwarna kekuningan. Hal ini sudah diketahui sejak lama tidak sesuai spesifikasi kilang PT TPPI Tuban dan Kilang PT Chandra Asri Cilegon.
Padahal, dari komunikasi Yusri dengan Dirjen Migas pada 24 Oktober 2016 soal rencana akan adanya ekspor kondensat dapat dipastikan bahwa sejak TPPI beroperasi maka pemerintah tidak lagi memberi rekomendasi ekspor kondensat. Dirjen Migas Pun berjanji akan mengecek langsung ke lapangan soal rencana tersebut. Akan tetapi, pada 28 Oktober Yusri mendapat informasi soal adanya aktivitas loading eksport kondensat di Tuban.
"Jangan-jangan publik tentu akan membacanya kebijakan ekspor kondensat itu bagian kerja mafia migas," katanya.
Lebih jauh, lanjutnya, model permainan seperti itu sudah beberapa kali dilaporkan Yusri ke Kejaksaan Agung pada Desember 2013 dan Juli 2015, dan terachir ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada November 2015.
"Faktanya saat itu semua kondensat bisa diserap oleh industri dalam negeri. Kalau sekarang diekspor lagi tentu ada dugaan upaya kongkalikong lagi, maka kita tidak boleh putus asa melibasnya kembali. Dan bahkan tidak tertutup kemungkinan kasus ekspor ini juga akan saya laporkan kembali ke KPK karena dugaan permainan modus seperti ini sudah tidak dapat dibenarkan lagi," tutup Yusri.
Adapun, produsen hilir kondensat di Indonesia masih sangat terbatas, seperti PT Gasuma Federal Indonesia dengan volume produksi 450 barel per hari (bph), PT Media Karya Sentosa sebesar 700 bph (sejak kasus penangkapan di KPK tahun 2015 sudah tidak produksi), PT Odira Energy Persada sebesar 300 bph (sementara waktu tidak produksi karena masalah utang piutang), PT Sumber Daya Kelola sebesar 100 bph dan PT Surya Eka Perkasa Tbk sebesar 450 bph, PT Perta-Samtan Gas sebesar 800-1.000 bph (semua produksinya masuk kilang Pertamina Plaju), PT Pupuk Sriwidjaja sebesar 70-100 bph, serta terakhir PSC Santos berproduksi sebesar 50-150 bph.
[wah]
BERITA TERKAIT: