Jaksa Agung M Prasetyo mengatakan, selama ini hukuÂman penjara belum cukup untuk membuat jera para koruptor.
Karena itu, dia mendukung rencana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberi hukuman tambahan berupa sanksi sosial bagi koruptor.
"Untuk jenis kejahatan tertentu saya rasa tidak ada salahÂnya. Saya mendukung sanksi tersebut," kata Pras, sapaan Prasetyo, di Kejaksaan Agung, kemarin.
Namun, Pras meminta agar wacana tersebut dimatangkan lagi. Sebab, untuk membuat jera para koruptor tak cukup hanya dengan sanksi tambahan berupa pengenaan biaya sosial, tapi juga harus diberi sanksi sosial tamÂbahan untuk mempermalukan koruptor.
"Seperti disuruh nyapu jalan, bersihkan WC umum, di depan orang banyak, ditulisnya korupÂtor. Kalau itu diterapkan, itu bagus. Paling tidak membuat mereka malu. Siapa sih yang tidak malu disuruh ngelakuin itu," katanya.
Dengan pengenaan hukuman tambahan itu, kata Pras, orang lain akan berpikir ulang untuk melakukan korupsi.
Pada kesempatan itu, Pras juga mengaku, dalam waktu dekat dirinya akan bertolak ke Singapura untuk membahas beÂragam isu, mulai dari ekstradisi para koruptor hingga masalah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
"Banyak isu yang akan kita bicarakan nanti, masalah ekstraÂdisi, masalah adanya Singapura akan mengadili para pelaku pembakaran hutan di Indonesia," katanya.
Menurut Pras, kedua hal terseÂbut khususnya masalah kebaÂkaran hutan dan lahan (Kahutla), telah menjadi masalah bersama dan harus ditangani bersama pula, tanpa harus mencampuri kedaulatan masing-masing negara.
"Indonesia punya hukum sendiri. Kalau ada keluhan sampaiÂkan ke kita, akan kita selesaikan itu. Tidak berarti mereka menÂgadili warga Indonesia, karena dianggap merugikan mereka, iya kan," sambungnya.
Terkecuali, sambung Pras, jika ada WNI yang melakukan aksi pembakaran lahan dan hutan di negeri Singa itu barulah pemerintah setempat boleh melakukan proses hukum.
"Kecuali kalau mereka melakuÂkan kejahatan di Singapura, itu seharusnya hukum ditegakkan," pungkasnya.
Sebelumnya, KPK mendorong agar koruptor dikenai beban membayar biaya sosial. Selain menumbuhkan efek jera dan gentar, gagasan penerapan huÂkuman biaya sosial korupsi ini juga diharapkan dapat memulihkan kerugian keuangan negara ataupun perekonomian akibat korupsi.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan, KPK pernah mengkaji penerapan upaya "luar biasa" untuk menghukum korupÂtor dengan tidak hanya menghiÂtung kerugian berwujud, begitu juga yang tak berwujud.
Dia mencontohkan, kerugian akibat jembatan yang roboh karena pembangunannya dikoÂrupsi tidak hanya semata nilai uang yang dikorupsi, tetapi juga mencakup nilai pembangunan jembatan baru, termasuk keruÂgian ekonomi masyarakat karena jembatan itu tidak berfungsi.
"Kami optimistis akan menÂcoba sanksi biaya sosial korupsi pada periode kami sekarang ini," kata Laode.
Usulan tersebut saat ini sudah dilimpahkan ke istana dan dikaji Kementerian Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Sekretariat Presiden, serta Kantor Staf Presiden.
Meski belum memutuskan apakah sanksi diterapkan atau tidak, usulan itu masuk ke pemÂbahasan kebijakan besar reforÂmasi bidang hukum.
Sebelumnya, sejumlah pakar hukum memikirkan berbagai cara untuk membangun efek jera sehingga praktik korupsi dapat dicegah atau ditekan. Jika tidak mungkin, dihilangkan.
Mantan hakim Mahkamah Konstitusi Harjono berpendaÂpat, pemberian sanksi sosial jadi salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk membentuk efek jera. Sanksi itu diyakini akan menimbulkan rasa malu bagi koruptor.
Harjono menambahkan, dalam pertemuan para pakar hukum dengan Presiden Joko Widodo, beberapa waktu lalu, usulan pemberian sanksi soÂsial bagi koruptor mengemuka meskipun belum dibahas deÂtail. ***
BERITA TERKAIT: