PGI: Hukuman Mati Dipertahankan, Ciri Negara Dan Masyarakat Frustrasi

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-1'>ALDI GULTOM</a>
LAPORAN: ALDI GULTOM
  • Kamis, 04 Agustus 2016, 01:16 WIB
PGI: Hukuman Mati Dipertahankan, Ciri Negara Dan Masyarakat Frustrasi
Jeirry Sumampow/Net
rmol news logo Tragedi hukuman mati sudah tiga kali dipertontonkan di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Meskipun pada 29 Juli lalu korbannya hanya 4 orang dari rencana 14 orang, namun eksekusi mati tetap saja membuat Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) prihatin.

"Kembali PGI mengingatkan dan mengimbau Presiden Joko Widodo untuk melakukan evaluasi dan menghentikan praktik dan eksekusi hukuman mati," kata Kepala Humas PGI, Jeirry Sumampow, kepada wartawan.

Hal itu disampaikan PGI melalui surat kepada Presiden tertanggal 29 Juli 2016 lalu, setelah ekseskusi jilid 3 tersebut berlangsung. Surat dengan nada sama pernah disampaikan PGI kepada Presiden pada tanggal 5 Maret 2015 menjelang eksekusi jilid 2.

Dalam surat kali ini, PGI menegaskan kembali apa yang dulu pernah disampaikan dan mengimbau agar Presiden mengambil langkah-langkah strategis untuk menghentikan praktik hukuman mati.

Sebagai masukan dan bahan pertimbangan bagi Presiden untuk mengambil kebijakan, PGI menyampaikan beberapa hal yang di antaranya berikut ini.

Gereja-gereja mengakui, Tuhanlah Pemberi, Pencipta dan Pemelihara Kehidupan. PGI memandang bahwa hak untuk hidup menjadi nilai yang harus dijunjung tinggi oleh umat manusia. Dan karenanya, hanya Tuhan yang memiliki hak mutlak untuk mencabutnya.

Gereja-gereja memahami bahwa negara menjalankan dan menegakkan hukum adalah dalam rangka memelihara kehidupan yang lebih bermartabat. Berarti, hukuman diharapkan untuk mengembalikan para pelanggar hukum kepada kehidupan yang bermartabat. Itu pulalah yang dicerminkan dengan penggantian kata "penjara" menjadi "lembaga pemasyarakatan".

"Karena itu, segala bentuk hukuman hendaknya memberi peluang kepada para terhukum untuk kembali ke jalan yang benar. Dalam hal hukuman mati, peluang untuk memperbaiki diri ini menjadi tertutup, selain menimbulkan kesan bahwa sanksi hukuman mati merupakan pembalasan dendam oleh negara," terang Jeirry.

Bila hukuman mati dipertahankan, lanjut Jeirry, maka akan terlihat frustrasi negara dan masyarakat atas kegagalannya menciptakan tata masyarakat yang bermartabat, dan rasa frustrasi itu dilampiaskan kepada hukum. [ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA