Menurutnya, sikap hati-hati KPK cenderung memperlemah lembaga itu. Hal ini dapat dilihat dari lambatnya proses menghadirkan Royani, supir sekaligus ajudan Nurhadi, sebagai saksi penting dalam membongkar keterlibatan Nurhadi.
"Dipertanyakan juga, mengapa KPK cukup lambat menangani hal itu (menghadirkan Royani), padahal ada opsi-opsi dalam memanggil Royani seperti jemput paksa, atau jika bisa dikenakan pidana pasal 21 UU Pemberantasan Korupsi," ujar Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Mico Ginting, saat ditemui di Kantor ICW, Jakarta Selatan, kemarin.
Mico menduga ada kekuatan besar yang melindungi sejumlah saksi yang dipanggil KPK untuk membongkar keterlibatan pihak lain dalam kasus tersebut. Meski demikian, Mico mengingatkan kembali bahwa KPK memiliki payung hukum untuk memanggil seseorang dalam upaya pemberantasan korupsi.
"Bisa jadi ada kekuatan besar yang melindungi orang-orang ini (saksi). Tapi pihak yang menyembunyikan ini harus dibongkar, siapa yang menyembunyikan. Kalau memang terbukti bisa menghalangi penyelidikan," ujarnya.
"KPK cukup berhitung dan hati-hati dalam kasus ini, kita harus beri dukungan. Tapi jangan sampai menjadikan KPK lemah, memanggil pihak kepolisian dan Royani," sambungnya.
Diketahui dugaan suap penanganan perkara PK pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkuak saat KPK menciduk Panitera Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution dan pihak swasta bernama Doddy Aryanto Supeno dalam operasi tangkap tangan di sebuah Hotel di jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu lalu (20/4).
Dari operasi tersebut, Tim Satgas KPK menyita uang sebesar Rp 50 juta dalam pecahan Rp 100 ribu yang disimpan dalam sebuah paperbag bermotif batik. Uang ini diduga diserahkan Doddy kepada Edy terkait pengajuan permohonan PK di PN Jakpus.
Penyerahan uang kepada Edy bukan yang pertama kali. Sebelum keduanya dicokok KPK, Doddy pernah menyerahkan uang kepada Edy pada Desember 2015. Doddy menyerahkan uang sebesar Rp 100 juta kepada Edy untuk tujuan yang sama.
Dari hasil pengembangan, KPK menelisik dugaan keterlibatan Sekretaris MA Nurhadi dalam kasus tersebut. Penyidik telah mengeledah ruangan kerja Nurhadi dan rumah pribadinya di Jalan Hanglekir, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dari pengeledahan di rumahnya, penyidik menemukan lima mata uang asing dan uang sebesar Rp 354.300.000.
Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati menjelaskan total uang yang disita KPK dari pengeledahan itu mencapai Rp 1,7 miliar. Lebih lanjut, Yuyuk menjelaskan pihaknya masih mendalami dari mana uang tersebut didapat Nurhadi. Di samping itu, Penyidik akan mendalami keterkaitan sejumlah uang yang ditemukan dengan kasus yang menyeret Panitera/Sekretaris PN Jakarta Pusat, Edy Nasution.
Dalam menguak keterlibatan Nurhadi, penyidik telah memanggil Royani dan empat anggota kepolisian yang menjadi ajudan Nurhadi sebagai saksi. Meski demikian, dalam beberapa kali panggilan penyidik KPK, Royani tidak pernah memenuhi panggilan dan tanpa keterangan sehingga Royani diduga disembunyikan.
KPK menduga Royani adalah orang yang menjadi perantara penerima uang dari sejumlah pihak yang punya kasus di MA. Sementara empat anggota Kepolisian yakni Ipda Andi Yulianto, Brigadir Polisi Ari Kuswanto, Brigadir Polisi Dwianto Budiawan, Brigadir Polisi Fauzi Hadi Nugroho juga belum pernah hadir sebagai saksi lantaran ditugaskan dalam operasi Tinombala.
Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Boy Rafli Amar, mengatakan, rencananya keempat anggota itu akan diperiksa di Polres Poso secara bergantian.
[ald]
BERITA TERKAIT: