Tak hanya itu, menurut Mico kesaksian Royani bisa membeberkan pihak lain yang ikut bermain perkara di MA.
"Posisi Royani, bisa saja memiliki hal penting, untuk menangani kasus lain juga. Seperti membeberkan kasus-kasus apa saja yang bermain perkara, dan selanjutnya mengenai jaringan-jaringan pemain perkara siapa saja," ujar Mico saat ditemui di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta Selatan, Minggu (24/7) kemarin.
Royani sudah beberapa kali dipanggil oleh penyidik KPK untuk menjadi saksi Doddy Aryanto Supeno, salah satu tersangka kasus tersebut yang diketahui bekerja untuk PT Artha Pratama Anugerah, salah satu anak usaha Grup Lippo. Namun pegawai MA yang sudah dipecat itu selalu mangkir dari panggilan tanpa keterangan. Diduga Royani sengaja disembunyikan oleh pihak tertentu.
Menanggapi dugaan Royani disembunyikan, Mico menilai KPK terlalu berhati-hati untuk menjemput paksa Royani. Menurutnya KPK memiliki payung hukum untuk mempidanakan pihak-pihak yang menghalangi pemanggilan Royani sebagai saksi seperti yang tertera dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Korupsi.
Mico mengatakan, kasus yang ditangani oleh KPK tersebut dipantau oleh publik, dengan begitu kredibilitas KPK sebagai lembaga antirasuah akan menjadi taruhannya.
"KPK harus mempertangungjawabkan kredibilitasnya, karena kasus ini kan dipantau oleh publik," ujar Mico.
Diketahui dugaan suap penanganan perkara PK pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkuak saat KPK menciduk Panitera Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution dan pihak swasta bernama Doddy Aryanto Supeno dalam oprasi tangkap tangan di sebuah Hotel di jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu (20/4) lalu.
Dari oprasi tersebut, Tim Satgas KPK menyita uang sebesar Rp 50 juta dalam pecahan Rp 100 ribu yang disimpan dalam sebuah paperbag bermotif batik. Uang ini diduga diserahkan Doddy kepada Edy terkait pengajuan permohonan Peninjauan Kembali (PK) di PN Jakpus.
Perkara ini telah masuk ke persidangan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Dalam sidang perdana pembacaan dakwaan Doddy Aryanto Supeno, terungkap bahwa motif penyuapan tersebut terkait dengan sejumlah perkara yang melibatkan Grup Lippo di PN Jakpus. Seperti Perkara Niagara antara PT Metropolitan Tirta Perdana (PT MTP) dan PT Kwang Yang Motor Com Ltd (PT KYMCO) dan perkara niaga antara PT Across Asia Limited (PT AAL) dengan PT First Media.
Untuk menangani perkara tersebut, Presiden Komisaris Grup Lippo, Eddy Sindoro meminta pegawainya yakni Wresti Kristian Hesti untuk melakukan pendekatan dengan pihak-pihak lain yang terkait perkara.
"Menindaklanjuti perintah itu, Wresti kemudian menemui Edy Nasution dan meminta penundaan yang disetujui Edy Nasution dengan imbalan sebesar Rp100 juta," kata jaksa saat membacakan Dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (29/6) lalu.
Sedangkan Doddy Aryanto Supeno diberi tugas menyerahkan dokumen dan uang kepada pihak terkait termasuk panitera PN Jakarta Pusat, Edy Nasution.
Uang tersebut kemudian diperoleh dari Hery Soegiarto selaku Direktur PT MTP yang diberikan pada Edy melalui Doddy di basement Hotel Acacia, Jakarta Pusat, pada Desember 2015.
[ysa]
BERITA TERKAIT: