Desakan itu diucapkan Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafid, menanggapi fakta bahwa selama tiga bulan terakhir lebih dari 40 orang warga negara Indonesia (WNI) disandera kelompok Abu Sayyaf di perairan Filipina.
Yang terakhir, tujuh WNI kembali disandera kelompok bersenjata di Filipina Selatan yang diduga faksi Abu Sayyaf ketika berlayar melewati Laut Sulu, Senin (20/6).
"Seringnya penyanderaan ini sudah tidak bisa ditolerir. Untuk itu, saya meminta Kemenlu untuk menekan pemerintah Filipina agar lebih serius menjaga wilayah perairannya. Ini bukan tidak mungkin kembali terjadi pada waktu mendatang.†ujar Meutya.
Meutya meminta Kemenlu dan aparat terkait seperti TNI, Polri dan BIN berkoordinasi untuk melepaskan WNI yang disandera. Mantan jurnalis ini juga mendukung kebijakan pemerintah untuk tidak membayar sepeser pun ke kelompok teroris untuk menebus sandera,
"Kebijakan luar negeri kita sudah jelas, perlindungan WNI menjadi prioritas utama," ucapnya.
Ketua Bidang Luar Negeri DPP Golkar ini juga meminta pemerintah segera mengimplementasikan joint declaration hasil pertemuan trilateral antara Indonesia-Malaysia-Filipina yang menyepakati empat poin kerjasama dalam upaya pengamanan kawasan perairan di perbatasan tiga negara.
Potensi ancaman penculikan, penyanderaan, dan perompakan oleh kelompok bersenjata di wilayah laut Indonesia-Malaysia-Filipina semakin tinggi, seiring dengan potensi ekonomi dan perdagangan yang besar di ketiga negara. Untuk itu, pemerintahan tiga negara perlu segera menyepakati Standart Operating Procedure kerjasama keamanan di kawasan.
"Agar jika terjadi keadaan bahaya, ketiga negara telah mempunyai prosedur pengamanan," ujar Meutya.
Penyandera tujuh WNI itu terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama membawa tiga ABK lalu kemudian kelompok kedua datang membawa empat ABK. Sebetulnya ada 13 ABK yang mereka tangkap, tetapi enam ABK lain dibiarkan bebas.
[ald]