Di luar Kejagung, beberapa pihak, termasuk Badan Intelijen Negara (BIN) dan LSM memiliki versi sendiri-sendiri soal jumlah buronan ini.
"Belum sekarang ya. Kami akan cek lagi. Karena ada beberapa yang menyerahkan diri, tertangkap. Nanti kita evaluasi," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Arminsyah, kepada wartawan di Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (28/4).
Arminsyah mengaku Kejagung menemukan banyak kendala untuk mengembalikan mereka ke Tanah Air. Terutama, ada beberapa negara domisili para buronan yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, salah satunya adalah Singapura.
Seperti diketahui, sempat terdengar isu bahwa perjanjian ekstradisi dengan Singapura dikaitan dengan Perjanjian Pertahanan Indonesia Singapura (Defense Cooperation Agreement/DCA). Dalam hal ini pemerintah Singapura lebih banyak menuntut keuntungan.
"Kita ambil contoh seperti Singapura. Mungkin wartawan sudah dengar, dia mau kerja sama tapi kompensasinya lain, keamanan misalnya. Dia minta angkatan udaranya diperbolehkan latihan di wilayah Indonesia," ungkap Arminsyah.
Selain perjanjian ekstradisi, masalah lainnya adalah persoalan biaya. Sebut saja untuk ongkos penerbangan tim penciduk ke negara di mana koruptor bersembunyi. Karena itu ia mengaku kerjasama dengan lembaga lain sangat membantu penegakan hukum terhadap buronan di luar negeri
"Itu (biaya) juga terbatas. Ini juga masalah. Tapi kita terbantu koordinasi kepolisian, BIN, Deplu, Menkumham. Ini yang bisa kita tingkatkan dan selalu kita koordinasikan," jelas Arminsyah.
[ald]
BERITA TERKAIT: