Ada sebanyak lima perkara ditarik dan sisanya sebanyak 133 permohonan dinyatakan tidak diterima dengan alasan tidak memenuhi syarat selisih maksimal yang ditentukan Pasal 158 UU Pilkada dan karena kedaluarsa atau melampaui batas waktu yang ditetapkan.
Menurut penilaian pihak Setara Institute, hasi sidang pendahuluan ini menggambarkan melemahnya praktik judicial activism (penalaran legal, argumentasi legal, dan rechtsvinding/penemuan hukum).
"Hal itu dikarenakan hakim MK memungkinkan menghasilkan putusan-putusan yang progresif, out of the box dari apa yang ditentukan oleh UU demi menghasilkan keadilan konstitusional bagi warga negara," kata Direktur Riset Setara Institute,‎ Ismail Hasani kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (27/1).
Dia menegaskan, dalam perkara perselisihan Pilkada, jelas tergambar bahwa konservatisme di tubuh MK telah menguat. Bahkan, MK mengutamakan syarat formil secara rigid, meski mengabaikan keadilan elektoral.
"MK sama sekali tidak menyentuh dan tidak mempertimbangkan berbagai kecurangan yang dilakukan calon untuk memperoleh kemenangan. Peradilan Pilkada boleh saja berbangga terbebas dari suap, tetapi gagal memvalidasi kemenangan pasangan calon karena pemeriksaan kebenaran materil diabaikan MK," katanya lagi.
Tak itu saja, pihaknya menilai, MK malas bekerja menjalankan perintah UU. Meski peradilan Pilkada adalah amanat sementara, tetapi pragmatisme hakim MK membuat integritas Pilkada dan peradilan Pilkada gagal diuji.
Terkait dengan persoalan tersebut, Ismail mendesak kepada Pemerintah dan DPR untuk menjadikan Pasal 158 untuk direvisi.
"Harus masuk agenda revisi, termasuk kemungkinan menyegerkan pembentukan peradilan pemilu untuk menangani pelanggaran administrasi Pilkada, pidana Pilkada, dan sengketa Pilkada dalam satu badan yang terintegras," tukas Ismail.
[rus]
BERITA TERKAIT: