
Pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Choirul Huda menegaskan bahwa dugaan 'pemufakatan jahat' yang ditangani Kejaksaan Agung belum kuat. Kasus tersebut baru layak ditangani jika disandingkan dengan tindak pidana korupsi lain, seperti penyalahgunaan wewenang atau penyuapan.‎
"Pasal 15 (Undang-Undang Tipikor tentang 'pemufakatan jahat') itu kan tidak bisa berdiri sendiri. Harus mengacu pada Pasal lainnya. Harus di juncto, antara Pasal 2 sampai dengan Pasal 13," ujasr dia dalam keterangan resminya di Jakarta, Jumat (11/12).
‎Dari pasal 2 sampai 13, menurut Huda, yang paling layak dipakai untuk kasus ini adalah pasal 12. Nah, kalau menggunakan pasal tersebut, Kejagung juga harus menjerat pemberi suap, dalam hal ini Maroef Sjamsoeddin yang berasal dari PT. Freeport Indonesia.‎
"Kalau Kejaksaan mau, yang paling mungkin Pasal 15 juncto Pasal 12. Tapi kalau suap, Maroef Sjamsoeddin kena. Karena dia pemberi suap. Jadi nggak sederhana juga. Nggak mungkin yang menyuap setan. Tapi ingat, keduanya harus kena," papar dia.
‎Analisa Huda, jika 'pemufakatan jahat' itu dikaitkan dengan Pasal dalam UU Tipikor tentang pemerasan, Setya Novanto akan sulit dijerat.
Choirul melihat, pertemuan antara Setnov dengan Maroef yang dikatakan Kejagung sebagai 'pemufakatan jahat', tidak terlihat adanya unsur paksaan. Dia pun meyakini jika kedua belah pihak 'menikmati' adanya pertemuan tersebut.
‎"Kalau pemerasan itu kan berkaitan dengan penyalahgunaan kewenangan. Nah, kalau (pemerasan) itu harus terbukti bahwa pertemuan itu Setnov yang meminta," demikian Huda.
[sam]‎
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: