Sejumlah akademisi internasional pun menyatakan efek kebakaran itu berpengaruh negatif terhadapan lapisan atmosfir bumi.
"Presiden mungkin tidak menyadari penilaian dunia itu bisa merusak peradaban kita. Itu sangat memalukan, itu kategori pengasingan Indonesia di muka bumi," jelas Ketua Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) Junisab Akbar kepada redaksi, Senin malam (23/11).
Dari sisi audit kinerja, patut disayangkan jika pemerintah pusat tidak bisa mengontrol pandangan masyarakat dunia atas kebakaran hutan dan lahan yang kerap terjadi di Indonesia.
"Masak kewenangan pemerintah tidak bisa mengeliminirnya. Apa hal itu tidak disadari Presiden Jokowi dan para pembantunya," ujar Junisab.
Mantan anggota Komisi III DPR menambahkan, proses pemberian izin konsesi hutan atau lahan ada di tangan pemerintah pusat. Namun, turunan aturannya selama ini terbukti bisa dilencengkan pemerintah daerah.
"Lihat apa yang terjadi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ketat mengeluarkan perizinan. Faktanya perusahaan yang mendapat konsesi seperti Hak Guna Usaha, Hak Tanaman Industri, Hutan Produksi Terbatas, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu, Hutan Produksi, dan Hutan Tanaman Rakyat sewenang-wenang mengimplementasinya," beber Junisab.
Kewenangan pemerintah pusat yang dititipkan sementara kepada perusahaan sudah disimpangkan pengelolaannya oleh perusahaan. Konsesi dijadikan alat untuk mengusir rakyat yang bermukim di sekitar lahan .
"Bahkan dengan gagah berani oknum TNI dan Polri ikut menyukseskan perilaku pengusaha itu," sebutnya.
Padahal, presiden Jokowi menggunakan TNI dan Polri untuk memadamkan dan menyidik pembakaran lahan konsesi.
Junisab mencontohkan, PT Nusa Wana Raya (NWR) bagian dari PT. RAPP/RGM Group di Desa Segati Kilometer 66-71, Kecamatan Langgam yang diklaim sebagai wilayah Kabupaten Pelalawan.
Dengan cara sepihak, PT NWR yang lahan konsesi miliknya terbakar seperti dikatakan Menteri LH dan Kehutanan sehingga Direktorat Jenderal (Ditjen) Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian LH dan Kehutanan melakukan penyegelan di lokasi.
"Namun, sekarang perusahaan itu diduga kuat sewenang-wenang mematok batas lahan konsesinya dengan dikawal ratusan oknum berseragam pasukan Brigade Mobil (Brimob) dan TNI. Patok PT NWR sekarang bertuliskan Hutan Produksi Terbatas (HPT). Itu saja sudah jelas menyimpang,"sebutnya.
Kesewenangan PT NWR pemegang konsesi berkategori IUPHHK-HTI berdasar surat Dinas Kehutanan Provinsi Riau tanggal 22 Mei 2014 seluas 2.714,00 hektar dan tanggal 25 Mei 2015 seluas 1.562 hektar yang tidak mencantumkan titik koordinat menyebutkan bahwa lahan mereka berada di Kabupaten Pelalawan.
Ternyata, patok-patok PT NWR bertulis HPT di Desa yang merupakan perbatasan dua kabupaten itu ditancapkan di area lahan milik masyarakat yang sudah digarap 10 tahun lebih berasal dari bekas hutan yang dibuka secara tradisional.
"Lahan masyarakat itu ternyata bukan masuk dalam wilayah Kabupaten Pelalawan tetapi Kabupaten Kampas berdasar data ttitik koordinat Kantor Pertanahan BPN RI Kabupaten Kampar. Konsekuensinya, rakyat yang teraniaya. Mereka sudah capek menggarap hutan negara namun hendak dirampas dengan menggunakan alas hak konsesi," ungkap Junisab.
Untuk itu, Junisab menyarankan Menteri LH dan Kehutanan Siti Nurbaya menerapkan kewenangannya melakukan audit agar kewenangan pemerintah pusat tidak mudah disimpangkan di daerah.
"Kalau tidak, maka bisa-bisa Menteri LH dan Kehutanan akan ditarik-tarik menjadi turut serta melakukan penyimpangan jikalau PT NWR digugat masyarakat ke peradilan," tegasnya.
[wah]
BERITA TERKAIT: