Aminuddin selaku penyelidik kasus ini menyebutkan bahwa IAS ditetapkan sebagai tersangka setelah ditemukan dua alat bukti kuat. Awalnya kuasa hukum IAS, Aliyas Ismail bertanya pada saksi KPK, Aminuddin, terkait dasar penetapan tersangka IAS. Aminuddin cerita, penetapan tersangka berdasarkan alat bukti, yakni LHP BPK yang mengindikasikan kerugian negara Rp 38 M dari kerja sama pengolahan air minum antara PDAM Kota Makassar dan PT Traya Tirta.
Yang membuat heran, saat Aliyas bertanya soal apakah LHP BPK yang dimaksud merupakan hasil pemeriksaan BPKP yang final? Aminuddin menjawabnya belum final. Aliyas lalu menyanggah
"Kalau belum kenapa dijadikan alat bukti?" tanya Aliyas. Pertanyaan itu tidak dijawab oleh Aminuddin.
Akhirnya Aliyas meminta izin ke hakim agar Aminuddin menunjukan dokumen LHP BPK yang dimaksud. Sayangnya di hadapan hakim saksi fakta maupun tim hukum KPK tidak bisa menunjukkan alat bukti yang dimaksud.
"Apa saudara saksi bisa menunjukkan dua bukti jika Ilham Arief Sirajuddin melakukan perbuatan tindak pidana atas kontrak kerja PDAM Makassar dan PT Tirta Traya ?," tanya Hakim Yuningtyas.
"Bukti itu kami dapat dari keterangan saksi yang kami periksa dan hasil audit BPK. Tapi kalau disini tidak ada buktinya," jawab Aminuddin kemudian.
Aminuddin juga beberapa kali menjawab lupa atau tidak tahu saat menjawab pertanyaan dari kuasa Hukum IAS. Hakim juga beberapa kali meminta kepada saksi KPK agar tidak menutup-nutupi sesuatu dan berbicara sesuai fakta.
"Anda dihadirkan disini jangan jawabnya tidak tahu atau lupa. Andakan penyelidik perkara ini jadi pasti tahu," tegas Yuningtyas lagi.
Kuasa Hukum IAS yang lain, Nasiruddin Pasigai mengaku optimis gugatan praperadilan IAS akan diterima hakim. Sebab, dari keterangan saksi dan bukti yang diajukan oleh KPK tidak ada bukti kuat yang bisa menyeret IAS sebagai tersangka. Bahkan kata dia, bukti yang diajukan justru menegaskan bahwa tak ada tindak pidana yang dilakukan IAS.
"Kita bisa simpulkan bahwa penetapan tersangka IAS sangat prematur. Itu kita bisa dengar dari keterangan saksi, demikian halnya penyitaan dan penggeledahan yang dilakukan KPK sangat tidak prosedural," ujar Nasiruddin.
Menurutnya, banyak barang bukti yang disita KPK tidak dalam pengusaan orang yang diperiksa kala itu. Dokumen yang disita sudah ada di KPK dan beberapa diantaranya dalam bentuk kopian.
"Penyitaan seperti ini dimanipulir. Ada kekeliruan KPK dalam menetapkan IAS sebagai tersangka. Sementara pelaku utama justru tidak ditersangkakan," jelasnya.
Keyakinan Nasiruddin jika penetapan IAS sebagai tersangka juga diperkuat keterangan Saksi Pakar Hukum Pidana Chaerul Huda. Dirinya menegaskan ada mekanisme atau prosedural yang harus dipatuhi penegak hukum dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Menurut Huda, seseorang baru bisa ditetapkan sebagai tersangak di tingkat penyidikan, bukan pada tahap penyelidikan. Kedua tahapan tersebut kerap tak bisa dibedakan sehingga penetapan tersangka kadang keliru.
"Makanya digunakan istilah berbeda dalam tahapan pemeriksaan agar tidak rancuh. Begitu juga dengan bukti. Pada tahapan penyelidikan belum bisa dikatakan bukti melainkan bahan bukti. Dan itu tidak dijadikan landasan untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Barulah di tingkat penyidikan bahan yang ditemukan itu bisa dikatakan bukti untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka," kata Huda.
Diketahui sebelumnya, Kuasa Hukum IAS dalam gugatan praperadilan yang diajukan menilai jika penetapan tersangka oleh KPK tidak sesuai prosedural. IAS ditetapkan sebagai tersanhgka 7 Mei 2014 lalu saat KPK masih dalam tahap penyelidikan.
[sam]
BERITA TERKAIT: