Namun perlu ditegaskan bahwa pemberian remisi tidak boleh disamaratakan antara pelaku kejahatan biasa dan
extra-ordinary crime.
Demikian disampaikan Wakil Ketua DPD RI, Farouk Muhammad, dalam acara dialog kenegaraan bertema "Remisi buat terpidana korupsi, apa alasannya?" yang digelar di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (18/3).
"Karena itu perlu ada aturan yang jelas dalam tata cara memberikan remisi, baik dari prosedur maupun dari besarnya jumlah remisi yang diberikan, apakah sama besarnya dengan perbuatan kejahatan yang dilakukan," ujar senator asal Nusa Tenggara Barat ini.
Sistem hukum Indonesia yang memberikan wewenang penuh pada pemerintah untuk memberikan remisi, dinilai Farouq, dapat memunculkan bias atau ketidakjelasan dalam penegakan hukum.
Menurut dia, pembuatan kebijakan di Indonesia sepenuhnya di tangan eksekutif. Padahal, di negara maju tidak semua law enforcement policy dibuat eksekutif.
"Bagaimanapun pemerintah adalah yang menang dalam kontes politik. Sehingga kalau ada keputusan mau memberi remisi, orang jadi mikir ini ada apa? Ini kan bias," tambah Farouk.
[ald]
BERITA TERKAIT: