Tuntutan Komjen Budi Gunawan alias BG agar berkas perkara hasil penyidikan KPK terkait dugaan korupsi Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Analisa Transaksi Keuangan Perwira Polri diserahkan kepada Polri telah ditolak oleh Hakim.
Demikian dikatakan advokat Petrus Selestinus SH, dalam diskusi membedah putusan praperadilan BG, yang diselenggarakan oleh Forum Advokat Pengawal Konstitusi (Faksi) dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI).
Petrus Selestinus melihat upaya hukum BG terhadap KPK sebagai langkah tepat, karena dari sana diharapkan diperoleh keadilan dan kepastian hukum. Pertanyaannya, apakah melalui praperadilan ini BG sudah mendapatkan keadilan?
"Tentu saja belum, karena putusan Hakim Sarpin dalam praperadilan yang diajukan oleh Komjen BG telah menabrak berbagai larangan, melampaui kewenangan Pengadilan Tipikor dan Ketua Mahkamah Agung dan sangat manipulatif dalam pertimbangan hukum putusannya," kata Petrus.
Larangan yang dilanggar Hakim Sarpin adalah memperluas wewenang Praperadilan atas alasan terjadi kekosongan hukum dalam pasal 77 KUHAP. Selain itu hakim melanggar larangan membuat kaidah baru melalui metode penemuan hukum dalam putusan Praperadilan.
Hakim Sarpin telah mengambil alih wewenang Ketua Mahkamah Agung RI, karena pasal 79 UU tentang Mahkamah Agung (MA) menyatakan bahwa MA dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan bila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam UU.
"Artinya kewenangan untuk menciptakan hukum baru terkait dengan kekosongan hukum dalam memperlancar jalannya peradilan, maka hanya Mahkamah Agung yang berwenang membuat Paraturan Mahkamah Agung. Jadi bukan kewenangan Hakim Sarpin," terangnya.
Ditegaskan juga bahwa tidak benar terjadi kekosongan hukum dalam menjawab Praperadilan Komjen BG. Alasanya, menurut Petrus, Hukum Acara Pidana yang mengatur kerja KPK tidak hanya KUHAP, melainkan juga diatur di dalam UU Pemberantasan Tipikor dan UU KPK.
Pasal 63 UU KPK menyatakan bahwa: (1) : dalam hal sesorang dirugikan akibat penyelidikan, penyidikan, penuntutan yang dilakukan oleh KPK secara bertentangan dengan UU ini atau dengan hukum yang berlaku, orang yang bersangkutan berhak mengajukan gugatan rehabilitasi dan/atau kompensasi.
Dan ayat (3) berbunyi, gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud pasal 54.
Atas dasar pasal 63 ini maka tidak benar alasan Hakim Sarpin dalam putusannya menyatakan telah terjadi kekosongan hukum, dan dengan demikian kewenangan untuk mengadili pun bukan melalui Praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tetapi harus melalui gugatan rehabilitasi dan kompensasi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai tempat di mana Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada. [ald]
Ia juga mengggugat pendapat Hakim Sarpin bahwa Komjen BG bukan Penyelengara Negara dan bukan sebagai Penegak Hukum saat perkara terjadi, dengan merujuk pasal 11 huruf a dalam UU KPK.
"Kalau saja BG bukan Penyelenggara Negara dan bukan Penegak Hukum, maka BG menurut pasal 11 huruf a UU KPK masuk dalam kualifikasi orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara, mengingat dugaan kasus korupsi yang disangkakan kepada BG adalah suap, maka peran berantai pasti ada," jelasnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: