Jika dibuat patokan income per capita rakyat Indonesia dua dolar per hari, maka jumlah rakyat miskin masih lebih dari 50 persen.
"Ada persoalan pemimpin saat ini. Pemilu 2014 masih harus dihadapkan untuk memilih pemimpin yang pincang diantara yang lumpuh. Kalau dalam kaidah Usul Fiqh yang terbaik diantara yang terburuk," ungkap Buya Syafii sapaan akrabnya saat kuliah umum di Fakultas Kedokteran UI, Salemba, Jakarta, Kamis (6/3).
Jika melihat ke belakang, Indonesia mengenal pemimpin besar Soekarno-Hatta. Buya mengibaratkan Soekarno saat itu sebagai gas sedangkan Hatta sebagai rem-nya. Setelah sebelas tahun, Hatta pun mundur. Akibatnya Soekarno melaju terus tanpa ada rem yang mengakibatkan demokrasi terpimpin ciptaan Sukarno berantakan.
Lompat ke tahun 2004-2009, menurut Buya justru keadaan terbalik. Gas dipegang kendali oleh wakil presiden Jusuf Kalla, sedangkan rem dipegang kendali oleh SBY. Akibatnya pemerintahan tidak berjalan sesuai harapan.
"Tahun 2009-2014 ini baru parah. SBY dan Boediono dua-duanya rem," ketusnya.
Menurut Buya Syafii, SBY sudah membuat trilogi ala Soekarno yang diantaranya menegaskan berdikari dalam ekonomi dan berdaulat dalam politik sudah runtuh.
"Karena dua-duanya rem, tidak jalan, ekonomi dan politik kita didikte asing. Pemimpin setia pada sifat budak. Padahal asing belum tentu lebih pintar. Seharusnya pemimpin bangun mental merdeka," demikian Buya Syafii.
[rus]
BERITA TERKAIT: