Mengutip laporan
AFP pada Minggu, 24 Agustus 2025, hasil pemungutan suara menunjukkan dukungan tidak mencapai ambang batas yang ditetapkan.
Komisi pemilu Taiwan mencatat sekitar 4,3 juta warga memberikan suara “ya” untuk mengaktifkan kembali PLTN, sementara 1,5 juta menolak.
Sesuai aturan, referendum baru dinyatakan sah jika sedikitnya lima juta suara mendukung dan jumlahnya lebih besar daripada penolak.
PLTN Ma’anshan, yang berlokasi di Pingtung, telah ditutup sejak Mei lalu, menandai berakhirnya penggunaan energi nuklir di Taiwan.
Penutupan ini memicu kekhawatiran akan ketergantungan tinggi Taiwan terhadap impor bahan bakar fosil untuk kebutuhan rumah tangga, industri, dan khususnya sektor semikonduktor.
Presiden Taiwan, Lai Ching-te, menegaskan bahwa keputusan rakyat akan dihormati. Menurutnya keselamatan nuklir adalah isu ilmiah, dan tidak bisa diputuskan hanya lewat satu kali pemungutan suara.
“Saya menghormati hasil referendum ini dan memahami harapan masyarakat akan adanya opsi energi yang lebih beragam. Konsensus terbesar dalam perdebatan energi Taiwan adalah soal keselamatan," tegasnya.
Partai berkuasa Democratic Progressive Party (DPP) sejak awal menolak wacana pembukaan kembali Ma’anshan kecuali ada jaminan keamanan dan solusi permanen untuk limbah nuklir.
Sebaliknya, oposisi utama Kuomintang (KMT) mendukung reaktivasi dengan alasan pentingnya pasokan energi nuklir bagi keamanan energi nasional.
Namun, sejumlah pengamat menilai referendum kali ini tak lebih dari formalitas.
“Apakah lolos atau gagal, keputusan akhirnya tetap berada di tangan pemerintah. Jadi hasilnya tidak akan terlalu berbeda,” kata
Chen Fang-yu, asisten profesor ilmu politik di Universitas Soochow, Taipei.
Pada masa jayanya di era 1980-an, energi nuklir menyumbang lebih dari 50 persen pasokan listrik Taiwan melalui tiga PLTN dengan enam reaktor.
Namun, kekhawatiran keselamatan meningkat sejak kecelakaan Three Mile Island di AS, kasus pembuangan limbah di Pulau Anggrek (Orchid Island), serta bencana nuklir Fukushima di Jepang.
Dua PLTN Taiwan berhenti beroperasi antara 2018 hingga 2023 setelah izin operasi habis, sementara PLTN keempat dihentikan pembangunannya sejak 2014. Referendum pada 2021 juga pernah menolak pengaktifan kembali proyek tersebut.
Ketergantungan Taiwan pada energi fosil kini mencapai tingkat kritis. Data pemerintah 2024 menunjukkan listrik masih didominasi gas alam cair (42,4 persen) dan batubara (39,3 persen), dengan energi terbarukan baru 11,6 persen, jauh di bawah target 20 persen pada 2025.
Cadangan LNG diperkirakan hanya cukup untuk 11 hari, sementara batubara untuk 30 hari jika impor terganggu.
Kondisi ini diperparah oleh meningkatnya aktivitas militer Tiongkok di sekitar Selat Taiwan, yang menimbulkan risiko blokade dan memperbesar ancaman terhadap ketahanan energi pulau tersebut.
BERITA TERKAIT: