Rutte menyatakan bahwa negara-negara tersebut dapat menghadapi sanksi sekunder yang sangat keras jika tidak menghentikan hubungan dagang dengan Moskow.
Pernyataan tersebut disampaikan Rutte saat berbicara kepada para senator di Kongres Amerika Serikat pada Rabu, 16 Juli 2025, sehari setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan paket bantuan senjata baru untuk Ukraina serta mengancam tarif sekunder 100 persen terhadap negara-negara yang membeli ekspor Rusia.
"Dorongan saya kepada ketiga negara ini, khususnya, jika Anda sekarang tinggal di Beijing, atau di Delhi, atau Anda adalah presiden Brasil, Anda mungkin ingin mempertimbangkan hal ini, karena ini mungkin akan sangat merugikan Anda," kata Rutte, seperti dimuat
Reuters.
Ia juga secara eksplisit meminta ketiga negara tersebut untuk ikut menekan Presiden Rusia Vladimir Putin agar kembali ke meja perundingan damai.
"Silakan hubungi Vladimir Putin dan beri tahu dia bahwa dia harus serius dalam perundingan damai, karena jika tidak, ini akan berdampak besar pada Brasil, India, dan Tiongkok," tegasnya.
Rutte juga menyampaikan bahwa aliansi transatlantik akan terus memperkuat dukungan militer bagi Ukraina guna memastikan posisi yang kuat dalam kemungkinan negosiasi ke depan.
Menurutnya, berdasarkan kesepakatan baru dengan Presiden Trump, Amerika Serikat akan meningkatkan secara besar-besaran pengiriman senjata kepada Ukraina, dengan sebagian biaya akan ditanggung oleh Uni Eropa.
"Bukan hanya pertahanan udara, juga rudal, juga amunisi yang dibayar oleh Eropa," ujar Rutte.
Ketika ditanya apakah bantuan tersebut mencakup rudal jarak jauh, Rutte menyebut bahwa diskusi detail masih berlangsung.
"Ini bersifat defensif dan ofensif. Jadi ada berbagai macam senjata, tetapi kami belum membahasnya secara rinci kemarin dengan Presiden. Ini sedang digodok oleh Pentagon dan Panglima Tertinggi Sekutu di Eropa bersama Ukraina," jelasnya.
Di sisi lain, Senator AS dari Partai Republik, Thom Tillis, menyatakan kekhawatiran atas masa tenggat 50 hari yang diberikan Trump sebelum sanksi diberlakukan. Ia menilai waktu tersebut bisa dimanfaatkan Rusia untuk memperkuat posisi militernya di medan perang.
"Putin akan mencoba menggunakan 50 hari untuk memenangkan perang, atau agar berada di posisi yang lebih baik untuk menegosiasikan perjanjian damai setelah membunuh dan berpotensi mengumpulkan lebih banyak wilayah sebagai dasar negosiasi," kata Tillis.
BERITA TERKAIT: