Dalam sebuah pernyataan resmi, kantor Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa menegaskan bahwa tindakan tersebut cukup mengecewakan.
"Presiden telah mencatat pengusiran yang sangat disesalkan terhadap duta besar Afrika Selatan untuk Amerika Serikat, Tn. Ebrahim Rasool," tulis pernyataan itu, seperti dimuat
AFP pada Minggu, 16 Maret 2025.
Ramaphpsa juga mendesak semua pemangku kepentingan yang relevan dan terdampak untuk menjaga kesopanan diplomatik yang telah ditetapkan dalam keterlibatan mereka dengan masalah ini.
Meski terjadi ketegangan, pemerintah Afrika Selatan menegaskan komitmennya untuk terus membangun hubungan yang saling menguntungkan dengan Amerika Serikat.
"Afrika Selatan tetap berkomitmen untuk membangun hubungan yang saling menguntungkan dengan Amerika Serikat," tegas Presiden dalam pernyataan tersebut.
Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, menyatakan pada Jumat, 14 Maret 2025 bahwa Duta Besar Ebrahim Rasool tidak lagi diterima di AS karena ia dianggap sebagai "politisi yang suka menghasut isu rasial" dan memiliki kebencian terhadap Presiden AS Donald Trump.
Hal ini semakin memperburuk ketegangan diplomatik yang sudah lama ada antara Washington dan Pretoria.
Pengusiran Rasool, seorang tokoh penting dalam perjuangan anti-apartheid, datang di tengah ketegangan yang semakin meningkat antara kedua negara. Ketegangan ini dipicu oleh beberapa kebijakan kontroversial yang dikeluarkan oleh Presiden Trump.
Bulan lalu, Trump memutuskan untuk membekukan bantuan AS ke Afrika Selatan, dengan alasan bahwa negara tersebut memberlakukan kebijakan yang memungkinkan tanah dirampas dari petani kulit putih.
Sebelumnya, Trump juga memperburuk situasi dengan menyarankan bahwa petani kulit putih di Afrika Selatan dapat menetap di AS, setelah mengulangi tuduhan bahwa pemerintah Afrika Selatan "merampas" tanah dari petani kulit putih.
BERITA TERKAIT: