Mengutip
Al Jazeera, Shtayyeh mengajukan pengunduran diri kepada Presiden Mahmoud Abbas pada Senin (26/2).
"Keputusan untuk mengundurkan diri terjadi di tengah eskalasi yang belum pernah terjadi sebelumnya di Tepi Barat dan Yerusalem, serta perang, genosida, dan kelaparan di Jalur Gaza," ujar Shtayyeh.
Kabar pengunduran diri Shtayyeh muncul di tengah meningkatnya tekanan Amerika Serikat (AS) terhadap Abbas untuk menggoyahkan Otoritas Palestina (PA), khususnya dalam mengatur struktur politik negara Palestina setelah perang.
"Saya melihat tahap dan tantangan selanjutnya memerlukan pengaturan pemerintahan dan politik baru, dan perlunya konsensus Palestina-Palestina berdasarkan persatuan Palestina atas tanah Palestina," lanjut Shtayyeh.
Di tengah tekanan AS, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak seruan agar PA mengambil alih seluruh tanah Palestina, termasuk memerintah di Gaza.
Pekan lalu, anggota parlemen Israel mendukung penolakan Netanyahu terhadap pengakuan sepihak atas negara Palestina.
"Knesset bersatu dalam mayoritas menentang upaya untuk memaksakan pembentukan negara Palestina, yang tidak hanya gagal membawa perdamaian tetapi juga membahayakan negara Israel,” kata Netanyahu.
Kekerasan di Tepi Barat yang diduduki telah meningkat secara signifikan setelah serangan Hamas pada 7 Oktober di Israel selatan yang menewaskan 1.139 orang.
Sementara itu, data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan serangan Israel telah menewaskan lebih dari 29 ribu warga Palestina di Gaza.
BERITA TERKAIT: