Permintaan maaf ini disampaikan oleh Raja Belanda Willem-Alexander dalam pidatonya dalam acara "Keti Koti" di Oosterpark, Amsterdam pada Sabtu (1/7). Keti Koti yang berarti "mematahkan rantai" digelar untuk memperingati 150 tahun penghapusan perbudakan di bekas jajahan Belanda.
Acara itu dihadiri oleh ribuan keturunan budak dari negara-negara Amerika Selatan seperti Suriname, hingga Kepulauan Karibia. Banyak peserta mengenakan pakaian warna-warni Suriname.
"Hari ini saya berdiri di sini di depan Anda sebagai raja dan bagian dari pemerintah. Hari ini saya secara pribadi meminta maaf," ujarnya yang disambut sorak sorai, seperti dimuat
AFP.
Permintaan maaf ini muncul setelah Perdana Menteri Belanda Mark Rutte menyampaikan secara resmi atas nama pemerintah pada Desember lalu.
"Perdagangan budak dan perbudakan diakui sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. (Tapi) para raja dan penguasa House of Orange tidak mengambil langkah untuk menentangnya," tutur raja.
"Hari ini, saya meminta maaf atas tindakan tersebut," imbuhnya.
Meski mendapat sambutan positif, namun banyak yang mengatakan mereka ingin Belanda membayar kompensasi.
"Mungkin sekarang (raja) bisa melakukan sesuatu untuk orang kulit hitam," kata Abmena Ryssan, 67 tahun.
"Kami membutuhkan pertanggungjawaban," tambah Lulu Helder, seorang guru yang nenek moyangnya adalah budak.
Perdagangan Budak dan Black Lives MatterDi era kolonial, Belanda dikenal dengan perdagangan budaknya. Bahkan perdagangan budak telah mengubah Belanda menjadi salah satu negara terkaya di dunia.
Sebuah studi yang dirilis pada bulan Juni menemukan bahwa keluarga kerajaan memperoleh 545 juta euro atau setara dengan Rp 8,9 triliun pada 1675 hingga 1770 dari hasil perdagangan budak di berbagai belahan dunia.
Nenek moyang raja saat ini, Willem III, Willem IV, dan Willem V, termasuk di antara penghasil terbesar dari sistem perbudakan tersebut.
Pada abad ke-16 hingga ke-17, Belanda mengirimkan sekitar 600 ribu orang Afrika sebagai bagian dari perdagangan budak, sebagian besar ke Amerika Selatan dan Karibia.
Hal ini membuat Belanda disorot ketika perdebatan mengenai gerakan Black Lives Matter muncul di Amerika Serikat.
BERITA TERKAIT: