Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan mengungkapkan kesedihannya tentang Myanmar kepada Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken selama kunjungannya ke Washington pada Jumat (16/6).
Menurut Balakrishnan, upaya penyelesaian konflik memang membutuhkan waktu. Tetapi untuk kasus Myanmar ia cukup pesimis.
Selain karena tidak ada perubahan selama hampir tiga tahun terakhir, sejarah Myanmar juga memperlihatkan bagaimana negara itu baru bisa kembali ke pemerintahan demokratis setelah perjuangan selama lebih dari dua dekade.
"Saya tidak tahu berapa lama. Terakhir kali, butuh 25 tahun untuk membentuk transisi demokrasi terjadi di Myanmar. Saya harap (untuk yang kali ini) tidak akan memakan waktu selama itu," ujarnya, seperti dimuat US News.
Sejalan dengan Menlu Singapura, Blinken juga merasakan keputusasaan yang sama terhadap konflik Myanmar.
Tetapi ia tetap mendukung upaya ASEAN di bawah Presidensi Indonesia untuk mengakhiri konflik dengan menjangkau seluruh pihak berkepentingan di Myanmar.
"Sangat penting bagi kami untuk terus mempertahankan tekanan yang tepat pada junta dan mencari cara, tentu saja, untuk melibatkan oposisi," ungkap Blinken.
AS telah mengeluarkan sanksi terhadap militer Myanmar dan perusahaannya, dan mendesak negara lain untuk menghentikan penjualan senjata ke junta.
Sementara Singapura sempat dicolek PBB karena oknum dari negara tersebut ketahuan mengirim pasokan militer ke Myanmar senilai 254 juta dolar AS atau Rp 3,5 triliun.
Pemerintah Singapura telah melakukan penyelidikan terkait laporan PBB dan mengaku telah berupaya mencegah ekspor senjata ke Myanmar.
BERITA TERKAIT: