Pasalnya, seruan AS agar Mesir menutup jalur udaranya untuk membuat Rusia kesulitan mencapai pangkalan militer di Suriah, sudah tidak didengarkan lagi oleh Kairo.
Padahal AS sangat suka jika lebih banyak negara menutup wilayah udara mereka. Sehingga mobilitas Rusia akan terhambat karena melewati jalur yang panjang di atas Azerbaijan atau Iran dan kemudian Kuwait dan melalui Teluk sekitar Yaman sebelum akhirnya ke Suriah.
Penolakan Mesir terhadap desakan AS, membuat negara itu dituduh memasok amunisi ke Rusia, sebuah laporan
The Washington Post menyebutkan April lalu, yang kemudian dibantah Kairo.
Beberapa negara seperti Arab Saudi nampaknya mengamati betul pergerakan Mesir.
Saudi telah memulai kebijakan luar negeri baru dengan memperbaiki hubungan dengan Iran, berusaha untuk menormalisasi kesepakatan dengan rezim Suriah dan mereka juga berbicara dengan China dan Rusia.
Kasus lain terjadi di Afrika Selatan, pada Jumat (12/5), Duta Besar AS untuk negara itu menuduh pemerintah mengirimkan senjata dan amunisi ke kapal kargo Rusia akhir tahun lalu.
Penyataan itu menimbulkan kontroversi di Afrika Selatan dan beberapa media di sana mencatat bahwa Partai Komunis di Afrika Selatan telah menyerukan agar duta besar AS diusir.
Afrika Selatan membantah telah memasok senjata ke Rusia melalui kapal kargo yang berlabuh di pangkalan angkatan laut di Simon's Town dekat Cape Town pada Desember tahun lalu.
Apa yang ditunjukkan negara-negara Timur Tengah dan Afrika saat ini, memperlihatkan bahwa mereka menyangkal mendukung Rusia, tetapi mereka juga tidak ingin ditekan untuk terlibat dalam dukungan Barat terhadap Ukraina.
Ini menggambarkan sifat perubahan tatanan global dan keberhasilan yang tampaknya dimiliki Rusia, China, dan negara-negara lain di bagian selatan.
Berbeda dengan sikap independensi negara lain, kasus Mesir dan Afrika Selatan cukup menarik, karena mereka memiliki hubungan erat dengan Barat dan AS, baik dalam hal militer maupun masalah politik dan ekonomi.
BERITA TERKAIT: