Kepala Eksekutif Layanan Parlemen, Rafael Gonzalez-Montero mengatakan, keputusan itu diambil setelah pemerintah mendapatkan saran dari pakar keamanan dunia maya dan disuksi dengan negara-negara lain.
"Berdasarkan informasi ini, Layanan Parlemen telah menentukan bahwa risikonya tidak dapat diterima di lingkungan Parlemen Selandia Baru saat ini," kata Gonzalez-Montero, seperti dimuat
Reuters, Jumat (17/3).
Kekhawatiran terus meningkat dari masyarakat internasional, setelah AS, Uni Eropa (UE), dan Inggris memutuskan untuk melarang aplikasi tersebut baru-baru ini.
TikTok diyakini dapat disalahgunakan oleh pemerintah China yang dapat mengakses lokasi pengguna dan data kontak dengan mudah melalui induk perusahaan TikTok, ByteDance, di negaranya.
Menanggapi pelarangan yang kian meningkat ini, TikTok meyakini adanya kesalahpahaman mendasar, yang didorong oleh masalah geopolitik yang lebih luas. Perusahan menambahkan pihaknya telah menjunjung tinggi keamanan data pengguna.
"TikTok telah menghabiskan lebih dari 1,5 miliar dolar (Rp 23 triliun) untuk upaya keamanan data yang ketat dan menolak tuduhan mata-mata," ujar perusahaan tersebut.
BERITA TERKAIT: